Rumah Tanpa Pagar

Ayumi Hara
Chapter #5

Kekalahan

 Kegelisahan satu belum selesai, kini timbul kegelisahan lain. Salim mondar-mandir di kamar. Seperti biasa, Alimah, tetap menekuri buku. Kali ini ia menekuri buku Nur Muhammad. Buku tentang asal-mula kejadian makhluk, buku yang sering membuat ia bergidik ngeri karena membicarakan akhirat. 

“Mikir Gayuh terus lama-lama jatuh cinta lo, Pak!” ucap Alimah tanpa mengalihkan pandang dari buku karya Al Imam Abdurrohim bin Ahmad Qodhi itu. Salim berhenti mondar-mandir. Ia mendekati istrinya.

Eladalah! Ini bukan perkara Gayuh, Bu! Lain lagi!”

“Apa lagi?”

“Tadi Kades Muskil ke sini sama orang kota. Datang waktu Ibu lagi pengajian di masjid.”

“Orang kota siapa?”

“Namanya Johan. Sepertinya tengkulak yang waktu itu pernah disebut-sebut Pak Kades.”

“Bagus ta, Pak? Akhirnya dukuh kita benar-benar diperhatikan.” Alimah sesekali melirik suaminya yang masih berwajah kusut.

“Masalahnya, mereka menanyakan soal hutan di dekat rumah Gayuh. Kata Kades Muskil, Pak Johan ingin meneliti tanah di hutan itu. Katanya punya potensi kapur yang bagus.”

“Terus?”

“Ya, mereka ingin membeli tanah itu. Tanah angker itu!”

“Kita kan punya Gusti Allah, kenapa takut sama setan?” Alimah acuh tak acuh, sambil terus membaca buku.

 Salim berhenti bercerita. Ia menyadari kegelisahannya telah membuat informasi yang ingin disampaikan jadi tidak beraturan, sehingga sang istri tak berminat mendengarkan. Salim juga menjamin Alimah tidak paham perkara tanah dan hutan. Selama ini, sang istri hanya mengenal madrasah dan pengajian. Berita-berita tentang Gayuh dan hutan angker langsung ia tepis karena bagi Alimah itu perbuatan syirik dan perempuan berjilbab lebar itu tak ingin ikut campur perkara yang terlarang. 

Sementara Salim yang ingin menjadi ketua RW terbaik, kalau bisa naik jadi kepala desa, terus belajar sana-sini hingga cukup paham macam-macam berita. Setelah ia memutuskan kabur dari pesantren dan mendapati kedua kakaknya sukses jadi kiai, Salim bertekad untuk belajar dagang dan berpolitik. Meski hasilnya belum terlihat, ia terus mengupayakan cara-cara halal agar dirinya juga bisa disegani seperti Kiai Malik dan Kiai Guruh.

Untuk saat ini, cara paling mudah adalah melakukan pendekatan dengan kepala desa. Namun sore tadi, sepulang dari kebun milik Rudi, Salim terkejut. Kades Muskil datang bersama seorang lelaki berpawakan tinggi, berpakaian rapi dan wangi khas orang kota datang. Ia tahu, orang itu bukan sembarangan, karena Kades Muskil yang dikenal supersibuk sampai menyempatkan mengantar. 

Awalnya Salim tinggi harap ketika melihat orang itu. Barangkali ia adalah petugas PLN dari kota yang akan mendatangkan lampu jalan, atau tukang aspal yang akan memperbaiki jalan di dukuhnya. Dengan hem batik terbaik, Salim menemui Kades Muskil dan tamunya.

 “Saya Johan, dari Surabaya.”

“Saya Salim, ketua RW di sini.”

Salim pun menjabat tangan Johan dengan erat dan semangat.

“Jadi Pak Salim ketua RW di sini? Yang secara tidak langsung turut menjaga hutan di sana?” Johan menunjuk ke hutan jati di utara rumah Salim.

“Betul sekali he-he-he.“

“Saya dan Pak Kades mau izin untuk masuk hutan jati yang di ujung dukuh. Apa boleh?”

“Oh saya kira panjenengan pegawai PLN he-he-he. Jadi panjenengan mau cari kayu bakar? Atau cari rumput? Oh silakan, tidak apa-apa,” jawab Salim sambil tertawa. Baru kali ini ia melihat tukang rumput serapi itu, dan pakai izin segala.

“Hus! Sembarangan kamu! Pak Johan ini pemilik perusahaan tambang.” Kades Muskil lantas menjelaskan jika seminggu yang lalu ia mengikuti rapat di kabupaten, lalu bertemu dengan Johan. Awalnya Kades Muskil coba-coba menawarkan kayu, karena Johan juga memiliki pabrik kayu. Tiga hari yang lalu, Johan mengutus dua orang karyawannya berkeliling Desa Jatimangun, mengamati kayu-kayu yang bisa diproduksi.

“Tapi, setelah saya dan tim cek lebih lanjut, ternyata ada potensi lebih besar dari kayu yang ditawarkan Pak Kades,” tambah Johan berseri-seri.

Lihat selengkapnya