Rumah Tanpa Pagar

Ayumi Hara
Chapter #6

Pertaruhan

Sejak Kades Muskil mengadakan lomba untuk penyambutan hari ulang tahun Desa Jatimangun, undangan Kiai Malik untuk mengisi ceramah makin banyak. Karena sang ayah makin sibuk di luar, Laras pun makin menerima kehadiran Yudha setiap hari di rumahnya. Meski sepupunya pun jarang sekali di rumah. Pada mulanya, Laras mempermasalahkan Yudha yang bolak-balik naik-turun bukit. Namun, karena terlalu sering, dan Laras pun sedang tak ingin memikirkan banyak hal, maka kehadiran Yudha atau pun tidak adanya dia, tak menjadi masalah.

 “Mungkin beberapa hari lagi Pakde Malik bisa istirahat lebih banyak. Mulai besok, di depan pos ronda akan ada pelatihan tari gandrung,” dengan bangga Yudha memberitahukan kerja kerasnya.

"Pakde Salim memang payah. Dia yang punya ide supaya kita aktif di kegiatan seni, tapi dia tidak punya kenalan orang seni. Ujung-ujungnya ya aku. Sudah beberapa malam aku bolak-balik ke Desa Wungkal, demi membujuk grup gandrung yang sebentar lagi tutup,” lanjut Yudha makin berapi-api.

“Jauh sekali sampai Wungkal?” Kiai Malik menyeruput teh rempah favoritnya.

“Di Panggok masih aktif, Pakde. Kalau di Wungkal sudah hampir gulung tikar. Kita juga harus pintar berpolitik bukan?” Senyum Yudha membuat Kiai Malik menyadari jika anak adiknya itu memang sudah besar dan makin pintar.

“Abah, hati-hati. Yudha makin pintar meski abahnya melarang dia kembali ke Jakarta,” Laras berbisik keras, membuat Yudha dan Kiai Malik tertawa.

“Gayuh hari ini libur?” Kiai Malik sedari tadi tidak melihat pembantunya.

“Bapaknya sakit. Mungkin kena bala habis dari Desa Panggok,” Laras mengalihkan pandang ke Yudha, yang membuat sepupunya menegang.

“Nyebut, Nduk. Kalau ada orang sakit, kita doakan. Pak Sanucipto memang pekerja keras. Mungkin kurang istirahat.”

“Abah yang kurang istirahat.”

“Ya sudah, Abah ke kamar dulu.”

 Baru selangkah Kiai Malik beranjak, pintu rumah terketuk. Saat pintu terbuka, Yudha dan Laras tampak tak antusias.

“Tumben, Lim?” Kiai Malik kembali duduk. Yudha dan Laras pergi ke aula belakang.

“Kalau mau minum ambil sendiri ya, Pakde,” ucap Yudha sembari beranjak, membuat Laras tersenyum senang.

“Aku puasa,” sahut Salim ketus.

“Anak-anak kalau abahnya kerja terus memang jadi lebih sensitif,” sambung Kiai Malik.

“Begini, Kang Malik. Beberapa hari lalu, Kades Muskil datang. Dia menawarkan untuk membantu perekonomian warga dukuh kita. Salah satunya dengan mencarikan tengkulak. Misal ada yang menjual hasil tani, hasil ternak, atau menjual tanah, kayu, bisa juga dibantu Pak Kades. Kemarin Rudi ingin menjual tanahnya, tanah warisan, tapi dekat dengan jalan. Itu bagus, Kang. Menurut Kang Malik bagus tidak?” 

Kiai Malik mengangguk. “Bagus kalau untuk mendirikan rumah atau tempat kegiatan lain. Strategis. Dekat masjid, dekat pos ronda, dekat ke mana-mana.”

“Nah! Masalahnya Kades Muskil tidak berniat mendirikan rumah atau tempat kegiatan lain. Dia malah memilih tanah yang ada di ujung Dukuh Padangan. Itu kan dekat dengan tanah milik sampean? Aku sudah membujuk sedemikian rupa sama pemilik tanah di sana, padahal tidak seberapa luas, tapi dia tidak mau!”

“Tanah punya Gayuh?”

Salim sedikit kaget karena kakak pertamanya seolah sudah tahu maksud kedatangannya. 

“Iya, Kang. Apalagi di sana Gayuh biasa melakukan kegiatan syirik. Ini adalah saatnya kita untuk bergerak, Kang. Dengan penjualan tanah itu, selain mempermudah kegiatan jual-beli tanah Kang Malik nanti, biar sekalian he-he-he, juga bisa memusnahkan syirik di dukuh kita. Masa keuturunan kiai seperti kita tidak bisa menyingkirkan satu manusia yang masih melakukan syirik?”

"Ngaku-ngaku keturunan kiai, sekolah agama saja kabur-kaburan."

"He-he-he." 

Dada Salim mengembang. Ia merasa akan menang melawan Gayuh, meski semalam ia merasa kena jampi-jampi.

“Aku sudah bilang ke Pak Kades, aku tidak mau menjual tanahku, Lim. Aku juga tidak mau memusnahkan tempat ibadah orang lain.”

“Lo! Kang Malik sudah tahu?”

“Tadi pagi aku mampir ke balai desa. Kades Muskil langsung ngobrol soal tanah di ujung dukuh.”

“Lo! Kenapa ditolak? Harganya kurang? Biar aku saja yang tawar-menawar!”

“Lim, kamu tahu siapa yang mau membeli tanah itu? Kamu tahu apa yang bakal mereka kerjakan?”

“Tahu. Namanya Pak Johan, orang Surabaya. Dia mau beli tanah untuk diambil kapurnya."

Lihat selengkapnya