Rumah Tanpa Pagar

Ayumi Hara
Chapter #7

Penyerangan

Yudha dan Ruslam merasa senang bukan main ketika melihat anak-anak perempuan di dukuhnya dengan luwes mulai melenggak-lenggok menari. Tuminah bersama beberapa penari kawakan dari Desa Wungkal, dengan sabar melatih anak-anak itu. Sedangkan para orang tua, tampak berseri-seri, merasa bangga dengan pementasan di depannya.

"Baru latihan saja sudah ramai begini, Yud!" Ruslam turut senang. Akhirnya ia bisa membuktikan bahwa pemuda juga ada gunanya.

"Semoga bisa konsisten ya, Mas." Gayuh yang diajak Yudha untuk ikut menonton pertunjukan latihan tari gandrung itu, juga merasa turut bangga. Perempuan itu sangat menikmati setiap ketukan musik yang mengiringi.

"Mbak Gayuh ndak ikut?" Ketika Yudha bertanya, Gayuh seketika menunduk malu.

Musik yang mengiringi latihan pada malam itu, terdengar jelas dari rumah Salim. Namun, setelah peresmian pelatihan tadi, Salim langsung pulang. Beberapa menit kemudian, Alimah pun menyusul sang suami.

Sejak pulang pengajian larut malam karena diskusi terkait pembatalan penjualan tanah, Alimah dan Salim makin sedikit bicara. Paling banyak berbicara ketika hitung-menghitung pemasukan dan pengeluaran daging yang makin sedikit. Alimah merasa bersalah ketika tiga hari ini sang suami hanya berdiam diri di ruang tamu, menghadap jendela tanpa ada makanan ataupun minuman di meja. 

Dengan hati-hati, Alimah meletakkan segelas air jahe-sereh. Barangkali bisa menjadi penghangat ketika cuaca Padangan makin dingin. Sebab tak biasa pula ketika Salim tiba-tiba jarang keluar, padahal di depan pos ronda dukuhnya sedang ramai latihan tari gandrung.

 “Pak, jangan terlalu dipikirkan apa yang memang sebenarnya sudah selesai. Lebih baik banyak zikir dan ibadah.”

“Apanya yang selesai?”

“Pak Kades kan sudah tidak apa-apa. Kenapa sampean tetap maju terus? Kita dan Kiai Malik adalah keluarga. Tidak baik kalau bertengkar dan terdengar sampai orang luar.”

“Bu, ini belum selesai. Aku akan tetap berjuang. Aku berjuang untuk wargaku, biar tidak kelaparan.”

 Alimah kembali mengatupkan mulut ketika ia melihat Kades Muskil berjalan menuju rumahnya. Kekhwatiran yang semula tidak ada, tiba-tiba merasuk dalam dada.

“Kenapa Pak Kades ke sini lagi?”

“Buatkan wedang jahe. ”

 Alimah kembali ke dapur dengan perasaan campur-baur. Meski tampak jumawa di depan suaminya, ia agak ketar-ketir ketika berhadapan langsung dengan Kades Muskil. Setelah Alimah tak tampak dari ruang tamu, Salim mempersilakan Kades Muskil masuk.

 “Tidak usah dibuatkan minum. Aku cuma mampir sebentar.”

Kades Muskil berbisik-bisik, wajahnya sedikit panik, meski ia berusaha setenang air sungai.

“Mulai malam ini, rapatkan lagi barisan ronda.”

“Setiap hari ada ronda, Pak Kades. Dukuh kami selalu aman.”

“Perbanyak lagi. Perketat lagi. Pastikan warga Dukuh Padangan semuanya aman.”

“Maaf, Pak Kades. Saya rasa sudah aman semua, meski yang ronda itu-itu saja he-he-he.”

“Kalau saya beri tahu jangan ngeyel! Kemarin kepala desa Panggok datang, memberi kabar kalau ada lagi korban di desanya. Sudah lebih dari lima orang meninggal secara tidak wajar.”

Salim yang menjadi pucat, mendekat kepada Pak Kades, dan berbisik untuk memastikan.

“Bunuh diri?”

“Pembunuhan.”

 Salim dan Kades Muskil sama-sama menghela napas panjang. Tampaknya Kades Muskil sudah benar-benar melupakan perihal tanah. Kini lahir perihal lain yang lebih genting: pembunuhan yang belum jelas sebab-musababnya. 

“Jadi kita harus bagaimana, Pak Kades?” Setelah beberapa saat hening, Salim akhirnya bersuara. Mungkin jika tidak bisa mendekati Kades itu dengan jalur pertanahan, bisa melalui jalur gosip pembunuhan.

“Jangan disebarkan dulu, karena ini masih dugaan. Bisa menimbulkan fitnah. Di Desa Panggok sebenarnya sudah mulai banyak desas-desus, jika pembunuhan itu dilakukan oleh dukun santet.”

“Dukun santet? Mereka saling serang?”

“Kabarnya, dukun santet mengirim santet ke orang yang tidak disukai. Lalu pihak keluarga yang kena santet, menyerang balik. Jadi, kita juga harus waspada terhadap orang-orang yang berpotensi sebagai dukun santet.”

“Si-si-siapa yang patut kita curigai?”

“Siapa pun, Pak Salim. Pasti sampean lebih tahu siapa warga sampean. Apa Pak Salim sudah pernah kena guna-guna?”

“G-g-guna-guna?”

 Lambung Salim tiba-tiba seperti diobok-obok. Ia merasa mual ketika mengingat malam saat dirinya memasuki rumah Gayuh. Saat itu pun ia melihat bahwa gadis Sanucipto itu tampak sangat anggun dan cantik sekali. Apalagi kalau dia tak memakai susuk dan mencoba merayu Salim? 

“Tapi saya harap kabar ini cukup Pak Salim yang tahu. Saya dengar juga ada komplotan ninja yang menyerang para dukun. Jadi, saat ini ada juga ninja-ninja yang membantai para dukun santet. Pokoknya, situasi sekarang sedang tidak baik-baik saja. Saya khawatir kalau dukun dan ninja-ninja itu beraksi di desa kita. Saya tidak mau hal ini terdengar sampai bupati.”

“Lalu, kegiatan untuk lomba bagaimana?”

“Saya sudah bicara ke tiap-tiap ketua RW. Semua kegiatan kita hentikan sementara. Akan kita lanjut kalau situasi sudah membaik.”

"Tapi tari gandrung baru dimulai malam ini?"

"Malam ini karena sudah terlanjur, tidak apa-apa. Selanjutnya, tunda dulu." 

Alimah yang mendengar percakapan suami dan Pak Kades, hanya bisa terdiam di balik tirai pintu tengah. Agar kerongkongannya yang tercekat itu tak makin kering, ia meneguk wedang jahe di cangkir yang ia bawa. Setelah Pak Kades keluar dari rumahnya, tubuh Alimah jatuh terduduk di kursi di belakangnya. Kalimat ilahiah muncul dari bibirnya yang memucat.

***

Bisa dikatakan, kehidupan Gayuh semakin sejahtera jika Kiai Malik banyak di rumah. Seperti saat ini, ia baru saja memasak daging sapi pemberian salah satu pondok pesantren di Banyuwangi itu. Daging sapi adalah makanan yang sangat mewah bagi dia dan ayahnya. Meski hanya beberapa potong, itu sudah sangat cukup untuk Gayuh dan sang ayah, meski malam itu ayahnya tak juga kunjung pulang.

 Saat Gayuh selesai menaruh daging ke dalam rantang, pintu rumahnya terketuk pelan. Sejak ia mendengar percakapan Yudha dan Laras, ia makin waspada. Dengan pelan, Gayuh mengambil parang yang terselip di dinding dekat pintu kamar. Meski tangannya bergetar, ia berusaha tetap waspada ketika membuka pintu rumahnya. Gayuh terkaget ketika lelaki di depannya mendorongnya masuk dan menutup pintu rumah dengan tergesa. Mata Gayuh bertambah membesar, tangannya sudah siap-siap mengayunkan golok ketika pemuda itu melepaskan tangannya yang membekap mulut gadis di depannya.

 “Maaf.” Wajah Yudha lantas memerah di tengah keremangan rumah Gayuh.

“Jika ada orang yang mengetuk rumah Mbak Gayuh, intip dulu dari celah pintu, atau dari dinding yang berlubang. Pastikan Mbak mengenal siapa yang datang. Aku hanya ingin Mbak lebih waspada. Bila perlu, jangan beri izin Pak Sanucipto untuk pergi-pergi. Apalagi ke Desa Panggok."

Lihat selengkapnya