Setelah pemakaman Kiai Malik, Dukuh Padangan mendadak sunyi. Kabar adanya ninja yang masuk ke dukuh, membuat para warga ketakutan. Namun, Salim berusaha bersikap tenang, dan menghimbau agar warga lebih berhati-hati, meniadakan kegiatan pada malam hari, dan ronda harus semakin ketat.
"Aku titip anak-anak ya, Lim," ucap Kiai Guruh yang baru tiba dari Surabaya tadi pagi.
"Kang Guruh tidak bermalam di sini?" Terus terang Salim ingin kakaknya setidaknya bermalam untuk mendoakan Kiai Malik.
"Lim, asal kamu tahu. Kejadian seperti ini sudah banyak terjadi di daerah Tapal Kuda. Yang aku tahu, korbannya adalah para pengurus pesantren. Ada beberapa kawanku yang tertangkap dengan alasan dituduh dukun santet. Hanya saja aku tidak menyangka kekejaman itu akan masuk ke dukuh kita. Siapa pula yang mengenal dukuh kecil ini? Tidak ada orang yang bermasalah di sini."
"Lalu kenapa sampean tidak tinggal di sini saja? Kenapa harus selalu di luar kota?" Kali ini kekesalan Salim membuncah. Sejak kecil, Salim dan Kiai Guruh memang kerap berseteru.
"Aku takut, akulah korban selanjutnya. Apalagi setelah Kang Malik diserang. Setidaknya, kalau aku mati tragis, tidak di hadapan anakku." Kia Malik menatap jauh pada Yudha yang sedang membereskan karpet yang digunakan untuk tahlilan.
"Tolong jaga keponakan-keponakanmu."
Tanpa memberi kesempatan Salim menjawab, Kiai Guruh lantas menghilang di balik pintu. Yudha yang mengetahui sang ayah telah pergi lagi, segera berlari menuju lelaki bersorban putih itu.
"Abah jaga diri, ya. Kalau keadaan sudah membaik, saya akan menyusul ke Surabaya."
Kiai Guruh hanya tersenyum dan membelai kepala pemuda di depannya. Sejak SMA, hubungan Yudha dan ayahnya semakin merenggang. Baru kali ini, mereka kembali bersitatap dan merasakan kekhawatiran satu sama lain.
Setelah mengantar sang ayah hinga gapura Desa Jatimangun, Yudha kembali ke rumah Laras. Suasana berkabung masih menyelimuti. Yudha, Laras, dan Gayuh lantas termenung di aula belakang rumah Laras, sembari menunggu Ruslam terbangun. Jika ninja sebelumnya sudah diserahkan kepada polisi, maka Ruslam sengaja mereka tahan.
Begitu Ruslam bangun, Yudha langsung melayangkan tinju hingga keluar darah dari hidung kawannya itu.
“Jancuk! Kenapa kamu menyerang Kiai Malik?!”
“Yud! Maaf, Yud!”
“Nyawa dibayar nyawa!” Sekali lagi, Yudha melayangkan tinju di pipi kiri Ruslam.
“Tapi aku bukan pembunuh.”
“Bukan pembunuh bagaimana?!”
“Yud dengarkan aku! Bapakku mati dibunuh ninja!”
“Karena itu kamu bergabung dengan mereka? Biar balas dendam dengan membunuh orang lain juga?” Mata Yudha berkilat-kilat. Ruslam menggeleng cepat.
“Aku ingin membunuh ninja-ninja itu, Yud. Aku tidak ikut komplotan mereka.”
Mendengar Ruslam yang terus memohon-mohon, Laras lantas mendekat dan mengambil pisau yang sempat Yudha rampas. Setelah mengingat-ingat ketika beberapa kali diserang ninja yang memiliki postur tubuh berbeda, ia melihat pisau yang digunakan sama. Namun, pisau yang Ruslam bawa adalah pisau dapur biasa, hanya saja sudah ditajamkan.
“Semalam, ninja yang datang ada empat. Tapi yang kabur tiga, dan satu kita sudah serahkan ke polisi.”
Yudha berhenti memukul Ruslam.
“Jangan goblok lagi! Kamu bisa mati membusuk diserang ninja-ninja itu, atau mati membusuk di penjara!”
“Yud, coba kamu cek pohon-pohon di sekitar rumah ini. Kalau ada simbol silang, maka kematian Kiai Malik memang bersumber dari ninja-ninja yang sudah terorganisir. Biasanya, beberapa hari sebelumnya, mereka datang dan menandai rumah yang akan jadi targetnya. Biasanya tanda silang tergores di pohon.”
Saat Yudha dan Laras keluar rumah untuk melihat satu per satu pohon yang dimaksud Ruslam, Gayuh dan Ruslam duduk menekuk lutut di aula. Rambut Gayuh yang biasa rapi ketika keluar rumah, kini hanya digelung asal. Beberapa anak rambutnya dibiarkan menjuntai.
“Saya turut berduka atas kematian bapak panjenengan.” Sejak mereka sampai di rumah Laras, baru kali itu Gayuh bersuara.
“Terima kasih, Mbak.”
“Bapak saya dulu berteman akrab dengan bapak panjenengan. Apakah juga bakal mati dengan cara yang sama?” Gayuh menoleh ke arah Ruslam, menatapnya dengan putus asa.
“Saya tidak tahu harus bagaimana, Mbak. Saya yakin bapak saya sudah bertaubat. Terakhir, dia mengabari kalau ada orang Desa Panggok yang meminta dia untuk menyantet Kades Muskil. Tapi Bapak saya tidak mau. Dia cuma mau jadi dukun penyembuh, bukan pengirim santet.”
Cerita Ruslam membuat Gayuh berpikir lebih jauh. Apakah selama ini banyak yang tidak ia ketahui tentang ayahnya? Selama ini, Gayuh mengira bapaknya benar-benar tidak tahu apa-apa tentang tragedi Desa Panggok. Namun semalam, ketika Sanucipto melihat putrinya menyusul ke sawah tempatnya bekerja, ia langsung membawa lari Gayuh dan meninggalkan padi-padi yang sedang ia jaga. Dalam perjalanan, Sanucipto hanya memperingatkan agar Gayuh waspada dan menyiapkan kuda-kuda. Bahkan Sanucipto tahu jalan-jalan setapak yang selama ini Gayuh tidak ketahui, terlepas dari dirinya yang memang jarang pergi ke desa di tengah-tengah Banyuwangi itu.
“Meski tidak begitu jelas, semalam saya melihat Mbak Gayuh berkelahi dengan hebat. Saya tidak menyangka. Biasanya Mbak Gayuh berjalan dengan anggun he-he.”
Gayuh tersenyum, tersipu malu. Selama ini ia memang tak pernah memperlihatkan keliahaiannya dalam bersilat. Sejak kecil, Gayuh sudah dilatih ilmu bela diri, memanah, dan berburu. Kata kakeknya, sebagai warga minoritas, selain harus selalu berbuat kebajikan, juga harus bisa apa pun sendiri. Termasuk menjaga diri sendiri, dan mampu bertahan hidup di alam liar. Setelah bertahun-tahun, Gayuh kini mengerti apa yang dimaksud sang kakek.
“Ada, Rus. Ada tanda silang di pohon jambu dekat rumah. Apa lagi yang kamu ketahui?” Yudha terus mencecar pertanyaan.