Rumah Tanpa Pagar

Ayumi Hara
Chapter #9

Perlucutan

Gayuh dan ketiga kawannya bergegas ke balai desa setelah memastikan jika ketua RW itu tak ada di Padangan.

 “Aku akan berjaga di sini. Warga yang ronda masih belum terlalu mempercayai bahaya ninja. Bahkan orang asing yang datang kemarin, tidak mereka curigai.” Ruslam berhenti di pos ronda. Ia merasa dirinya lebih tanggap waspada, karena itu Yudha pun menyetujui.

 “Saya ada jalan pintas. Mari ikuti saya,” Gayuh beralih memimpin. Selain pandai berolahraga, ia juga navigator yang baik.

 Pada tengah malam yang sunyi dan dingin itu, Gayuh, Yudha, dan Laras menuruni bukit, pergi menuju kantor balai desa. Dari Yudha, diketahui bahwa sejak rumor pembantaian dukun santet mulai tersebar luas, balai desa Jatimangun tak pernah tidur. Oleh kepala desa, pelataran balai desa yang luas dijadikan pusat informasi terkait penyerangan para ninja.

 Langkah Gayuh, Yudha, dan Laras dibuat sehati-hati mungkin. Mereka mengendap-endap ke belakang kantor balai desa yang gelap dan cukup sepi.

 “Kamu yakin Paklik Salim di sini?” Laras berbisik kepada Yudha. Ia tak yakin jika yang mereka cari ada di dalam. Kantor balai desa itu begitu sepi. Mereka terjingkat ketika tiba-tiba mendengar suara pecahan kaca dari dalam kantor itu. Sepertinya keadaan lebih kacau dari bayangan mereka sebelumnya.

“Aku yakin, Ning.”

Yudha memberi kode agar Gayuh dan Laras mengikutinya. Ketika ia membuka gerbang kantor balai desa yang ternyata tidak dikunci, hanya ada rantai dan gembok yang tercantol, mereka bergegas sembunyi-sembunyi menuju sumber suara. Melalui celah pintu, mereka mengintip apa yang terjadi di dalam.

Di dalam ruang kepala desa itu, tampak Salim mengayun-ayunkan parang. Kades Muskil yang terpojok di lemari kaca tempat dokumen-dokumen berada, tampak memohon-mohon.

"Pak Salim, tolong hentikan semua ini," suara Kades Muskil terdengar parau. Tampak pelipisnya berdarah. Salim tertawa, lalu mengayun-ayunkan lagi parangnya.

Tepat saat Salim melayangkan parang ke kaca lemari itu, Yudha berhasil mendobrak pintu. Pemuda itu langsung merangsek Salim yang hendak menyerang Kades Muskil. Ruang kepala desa yang biasa rapi itu pun kini berantakan. Pecahan kaca lemari berceceran di mana-mana. Kemeja batik yang dikenakan Salim dan Kades Muskil juga compang-camping. Tampak sayatan kecil di lengan kepala desa itu, sedangkan kancing baju Salim hampir rontok semua.

 “Paklik kenapa di sini?!” Laras benar-benar tak percaya dengan apa yang ia lihat. Secepat kilat, Gayuh mengunci tubuh Salim dengan sekali gerakan. Ketua RW itu pun terjatuh.

“Apa salah bapak saya? Kenapa panjenengan tega membunuhnya?!” Suara Gayuh berat dan bergetar, tangannya mencengkeram lengan Salim hingga tangan perempuan itu menampakkan urat-urat. Tatapan Gayuh yang tajam dan seolah siap menerkam, membuat Salim sesaat tak bisa bicara.

"Seharusnya, sejak pertama kali panjenengan tertangkap basah menghancurkan ubarampe di depan rumah saya, saat itu juga saya bisa menangkapa panjenengan." Bibir Gayuh bergetar, menahan amarah yang kian membuncah. Kali ini dugaannya terbukti. Pemilik sarung hijau zamrud itu adalah Salim.

"Dik Gayuh, maafkan saya. Malam itu saya hanya ingin menakut-nakuti sampean."

"Menakut-nakuti untuk apa, Pak Salim? Saya tidak pernah takut dengan apa pun. Tidak ada yang lebih menakutkan daripada tempat ibadah saya diambil orang-orang serakah."

Melihat ketegangan antara Gayuh dan Salim, Kades Muskil lantas menengahi.

“Kita memang seharusnya mengamankan Pak Salim. Sejak awal saya sudah curiga dengan beliau.”

"Hati-hati kalau bicara, Pak Kades terhormat!" Gigi Salim gemeretak, seolah akan mengeluarkan taring.

“Sebaiknya kita langsung lapor polisi. Biar dia membusuk di penjara.” Gayuh membanting tubuh Salim, lantas beranjak ke telepon di pojok ruangan. Yudha mengambil alih untuk menyandera pamannya. 

“Kalian salah sangka!” Salim yang mulai bercucuran keringat, lantas berteriak.

“Paklik, aku benar-benar tidak menyangka. Apa salah Abah? Sebelum meninggal, Abah ingin bertemu dengan Paklik. Bahkan ketika aku bilang kalau aku tidak suka dengan Paklik, Abah tetap membela panjenengan.” Laras menekan dalam-dalam hasrat untuk mengamuk di kantor balai desa itu.

“Kalian ke sini hanya untuk menangkapku seperti ini?” Kali ini, Salim tak lagi memberontak. Ia mengedarkan pandang ke pojok ruangan, mengamati Gayuh yang masih ragu menekan tombol telepon.

Lihat selengkapnya