Rumah Tanpa Pagar

Ayumi Hara
Chapter #10

Permulaan

Gayuh menggelar beberapa koran yang ia simpan di kolong tempat tidur. Beberapa koran menunjukkan artikel bencana alam yang disebabkan oleh eksploitasi alam, termasuk tanah berkapur. Yudha dan Laras terperangah. Mereka makin membisu.

 “Jadi, bagaimana? Meski Kades Muskil sudah tertangkap, apakah masalah belum selesai?” Laras yang tadinya merasa tenang, kini dibuat kembali resah.

 Dada Gayuh kembang-kempis. Tanpa gugup dan terburu-buru, Gayuh menceritakan soal pengamatannya terhadap sang kepala desa.

 Satu bulan yang lalu di pasar pagi, Gayuh sengaja pulang agak siang dengan tujuan menunggu Kades Muskil datang. Hampir seminggu sebelumnya ia sering menjumpai Kades Muskil menyambangi para pedagang pasar dengan keramahan tak seperti biasa. Lalu pada hari berikutnya, kepala desa muda itu datang bersama tiga orang kota yang ia duga para cukong dari luar desa. Dengan pendengaran yang ditajamkan, Gayuh mendengar ada pembicaraan mengenai tanah kapur, dan paling menarik adalah ketika mereka menyebut-nyebut nama dukuh tempatnya tinggal.

 “Kades Muskil dan para cukong itu membicarakan soal harga tanah, harga jual batu kapur, dan bagaimana mereka memanfaatkan warga desa ini,” tutur Gayuh diakhiri dengan helaan napas panjang.

“Aku benar-benar tidak tahu masalah ini. Aku hanya tahu perihal adanya rumor pembantaian dukun santet di Desa Panggok.” Ada rasa sesal dalam dada Yudha karena tak pernah tertarik mempelajari soal krisis lingkungan.

“Tidak masalah, Mas Yudha. Tapi, kalau sampai cukong-cukong itu datang lagi dan menginjakkan kaki di hutan ini tanpa izin, saya akan mengadang mereka. Kalau orang-orang di sini rikuh pada Kades Muskil, Pak Salim, atau orang asing itu, biar saya hadapi sendirian.”

Mendengar hal itu, Yudha dan Laras saling pandang.

“Bukan begitu, Gayuh,” potong Laras, nyaris kehabisan kata-kata.

“Kabar yang beredar dari Pak Salim, sangat berbeda. Memang ada sebagian warga yang setuju untuk menjual tanah atau hasil taninya ke balai desa, atau melalui Pak Salim. Tapi, beberapa orang yang memiliki tanah di hutan sebelah rumah ini, semuanya menolak setelah tahu para cukong datang untuk ngecek tanah dan akan mendirikan tambang di sana. Para petani hutan marah-marah. Mereka memang tidak tahu pendirian tambang bisa merusak tanah. Tapi mereka mikir kalau tidak ada hutan itu, mereka mau makan pakai apa? Tanah kapur di sana tidak bisa ditanami padi. Sawah di dekat hutan itu kalau kena cipratan kapur dari pertambangan, akan mati. La kita kalau ndak makan nasi saja merasa ndak makan.”

Lihat selengkapnya