Rumah Tanpa Pulang

Erna Surya
Chapter #1

Bab 1 - Sunyi yang Tak Lagi Menyembuhkan

Ada jenis keheningan yang membuat kita tenang, seperti selimut tipis di pagi yang dingin. Tapi keheningan di rumahku malam itu tidak seperti itu. Ia seperti ruangan kosong yang terlalu lama tertutup: pengap, pengap, dan menggema suara hati sendiri.

Aku duduk sendirian di ruang tamu. Sofa abu-abu yang mulai pudar warnanya menopang tubuhku yang tidak benar-benar letih, tapi kehilangan arah. Di atas meja, cangkir teh yang sudah dingin menunggu disentuh. Tapi aku hanya menatapnya, seperti menatap diriku sendiri: utuh dari luar, dingin di dalam.

Baskoro belum pulang. Aku tidak menelepon. Tidak mengirim pesan. Tidak bertanya. Dulu aku sering melakukannya. Sekadar memastikan ia baik-baik saja. Tapi sejak beberapa bulan terakhir, aku belajar untuk berhenti peduli sebelum aku kehabisan tenaga.

Jam di dinding menunjukkan pukul sembilan lewat dua belas menit saat aku mendengar pintu depan dibuka. Pelan, nyaris seperti pencuri yang takut membangunkan pemilik rumah. Tapi bukankah ia memang sudah mulai seperti tamu di rumah ini?

Langkahnya ringan. Tas selempang hitam masih tergantung di bahu. Wajahnya tetap tenang, seperti hari-hari sebelumnya. Tapi mata itu tidak pernah benar-benar menatapku lagi.

“Maaf telat. Tadi mampir proyek sebentar,” katanya sambil menaruh tas di kursi dan melepas sepatu.

Aku hanya mengangguk. Aku tak bertanya proyek yang mana. Aku tak ingin mendengar jawaban yang sudah kususun sendiri dalam kepalaku.

Ia mencium keningku. Sekilas. Seperti formalitas yang sudah kehilangan rasa. Bibirnya dingin. Tubuhnya membawa wangi sabun dari tempat yang bukan milik kita.

Lalu ia duduk, membuka ponsel, dan mengetik beberapa saat sebelum meletakkannya di meja. Layar ponsel itu menghadap ke atas. Entah lupa, atau tak lagi peduli.

Dan saat cahaya dari ponsel itu menyala, mataku—yang sudah lelah—tak bisa menahan diri untuk melihat.

Mutia: Aku rindu kamu.

Hanya tiga kata. Tapi cukup untuk membuat seluruh tubuhku terasa kebas. Teh di cangkir tidak lagi dingin—ia mati rasa. Ruangan menjadi bisu. Lampu menjadi lebih temaram dari biasanya.

Aku tidak bertanya. Tidak menegur. Tidak menangis.

Aku hanya duduk di sana. Diam. Dan dalam diam itu, aku tahu: semua yang dulu kutakuti telah menjadi nyata.

Mutia.

Aku tahu nama itu. Aku tahu wajahnya. Aku bahkan tahu cara dia tertawa dalam video-videonya yang membahas batik, rumah joglo, dan filosofi Jawa. Ia bukan sekadar content creator. Ia seorang tokoh budaya baru. Dan entah bagaimana, ia masuk ke rumah tanggaku—melalui layar ponsel suamiku.

Aku tidak tahu sejak kapan hubungan mereka dimulai. Tapi aku tahu sejak kapan aku berhenti percaya.

Tidak ada hari khusus, tidak ada pertengkaran besar. Hanya hari-hari yang mulai dingin, pelukan yang terasa seperti kewajiban, dan senyuman yang tak lagi mendarat di hati.

Kadang aku ingin marah. Tapi aku tidak bisa. Mungkin karena aku terlalu lama hidup dalam kesunyian ini. Atau mungkin karena aku terlalu takut mendengar kebenaran yang sudah kutahu.

Malam itu, ia tidur lebih dulu. Sementara aku masih duduk di ruang tamu, memandangi dinding yang penuh foto-foto perjalanan kami dulu. Di Bali. Di Dieng. Di Ubud. Di Prambanan. Waktu-waktu saat kami masih saling menjadi tujuan.

Kini kami hanya saling menjadi rutinitas.

Aku tidak tidur malam itu. Aku hanya berbaring, berpura-pura lelap. Mendengar napasnya yang tenang. Rasanya seperti mendengar orang asing yang kebetulan tidur di ranjang yang sama.

Dan saat subuh mendekat, aku bangkit. Menuju meja tulis. Mengambil buku catatan tua yang biasanya kupakai untuk menulis materi kuliah.

Kali ini aku menulis satu kalimat saja.

Aku tahu. Tapi aku tidak akan meledak. Aku hanya akan pergi dengan sunyi.

Lihat selengkapnya