Rumah Tanpa Pulang

Erna Surya
Chapter #2

Bab 2 - Aku dan Rumah yang Kami Bangun

Ada masa ketika kami percaya rumah bisa menyelamatkan segalanya.

Masa itu datang saat kami berdiri di atas lahan kosong di utara Jogja, dengan matahari tergantung rendah di langit sore, dan tanah masih bau basah setelah hujan semalam.

Baskoro menggenggam tanganku erat. Di tangannya ada sketsa kasar yang digambar di kertas buram—gambar rumah idaman yang ia rancang sendiri. Ia ingin rumah yang banyak kayu, yang menghadap ke timur, dengan teras lebar dan jendela besar. “Supaya cahaya pagi bisa masuk tanpa kita harus membuka lampu,” katanya.

Aku mencintainya saat itu. Tapi mungkin lebih tepatnya, aku mencintai keyakinannya. Laki-laki yang yakin pada bentuk ruang, pada arah mata angin, pada susunan atap. Itu memberiku rasa aman, seperti masuk ke dalam pelukan yang tahu ke mana akan mengarah.

Kami membangun rumah itu bersama. Bukan dengan tangan kami sendiri, tapi dengan keputusan-keputusan kecil: warna tembok, ubin lantai, motif tirai, rak buku di ruang tengah. Kami berselisih tentang wastafel, tertawa tentang bentuk lampu, dan berdebat kecil tentang tanaman apa yang sebaiknya ditaruh di halaman.

Kupikir saat itu, pernikahan adalah soal kompromi dan tawa. Aku salah. Pernikahan juga menyimpan hal-hal yang tak diucapkan, tak disetujui, tapi tetap dijalani.


**


Hari pertama kami tidur di rumah itu, suara jangkrik terdengar lebih jelas dari biasanya. Kami belum punya AC. Angin dari jendela masuk pelan, menyentuh kulit seperti bisikan.

Baskoro berbaring di sebelahku, menyandarkan kepala di lenganku, lalu berkata, “Akhirnya, kita punya ruang sendiri.”

Aku mengangguk. Tapi jauh di dalam, aku bertanya-tanya: apakah ruang yang dibangun bersama akan menjamin kita tetap tinggal bersama?

Waktu menjawab pertanyaanku perlahan, lewat retakan-retakan kecil: lupa menanyakan kabar, sibuk dengan pekerjaan masing-masing, tidur tanpa percakapan, sarapan tanpa tawa.


**


Dulu, setiap kami pulang, kami saling menyambut di depan pintu. Kini, kami masuk sendiri-sendiri, dengan ponsel di tangan dan kepala penuh agenda.

Dulu, ruang makan adalah tempat kami berbagi cerita. Kini, hanya tempat kami mengisi perut dan saling diam.

Dan aku mulai sadar: rumah itu tetap berdiri. Tapi yang tinggal di dalamnya bukan lagi dua orang yang sama.


**


Lihat selengkapnya