Ada perempuan-perempuan yang hidup dalam pertanyaan. Dan ada yang hidup tanpa pernah ditanya.
Aku telah terlalu lama menjadi yang kedua.
Sudah bertahun-tahun aku hidup di rumah yang penuh kursi, tapi tak pernah ditanya: “Kamu ingin duduk di mana?” Sudah lama aku tidur di ranjang yang sama, tanpa pernah ditanya: “Apa kamu masih betah di sini?”
Perempuan sepertiku—perempuan yang terlalu memahami, terlalu diam, terlalu bisa menahan marah—mudah sekali diabaikan. Karena kami tampak tenang. Karena kami tidak menuntut. Karena kami tidak meledak. Tapi di balik itu semua, kami menyimpan catatan panjang tentang segala yang tak dikatakan. Dan pada akhirnya, luka terburuk datang bukan dari pengkhianatan, tapi dari pengabaian.
**
Pagi itu, aku duduk sendiri di meja makan. Roti panggang dingin. Teh sudah kehilangan uap. Tak ada suara selain detik jam dan suara motor lewat jauh di luar pagar.
Baskoro sudah pergi lebih awal. Katanya ada survei tanah di Imogiri. Aku tidak bertanya dengan siapa. Aku tidak bertanya jam berapa pulang. Bukan karena aku tidak peduli, tapi karena aku ingin tahu sampai sejauh mana seseorang bisa pergi tanpa ditanya.
Aku menatap kursi kosong di seberangku. Di sinilah dulu ia duduk, bercerita tentang proyek, tentang kayu jati, tentang filosofi rumah adat. Dulu aku pendengar setianya. Kini aku hanya bayangannya—yang ia lewati tanpa disapa.
**
Di kampus, aku mengajar tentang relasi disfungsional. Tentang pola kelekatan yang tidak sehat. Aku menyebut istilah-istilah seperti ambivalent attachment dan emotional neglect. Dan tiba-tiba, kuliah itu terasa seperti otopsi terhadap pernikahanku sendiri.
Mahasiswa mencatat. Beberapa mengangguk. Tapi aku mencatat sesuatu yang tak bisa kutulis di papan tulis: bahwa menjadi tidak dipahami oleh orang yang tidur di samping kita setiap malam, rasanya seperti perlahan-lahan tenggelam tanpa air.
**
Sepulang kuliah, aku menemukan ponsel Baskoro tertinggal di ruang tamu. Biasanya ia sangat hati-hati soal itu. Tapi siang itu, entah takdir atau kelengahan, ponsel itu tergeletak di meja, terbuka.
Ada pesan dari Mutia. Aku tidak mencarinya, tapi ia muncul di notifikasi, seperti debu yang tak bisa ditepis.
> “Ko, tadi aku lihat rumah Limasan di pinggir sawah, cantik banget. Jadi inget kamu.”
Kalimat sederhana. Tapi ada sesuatu yang menyusup ke dalam dada. Bukan marah. Bukan cemburu. Tapi semacam kesedihan yang lama tak punya nama: perasaan bahwa tempatku sudah digantikan oleh seseorang yang tahu bagaimana cara membuat Baskoro merasa penting.
**
Aku membuka akun media sosial Mutia malam itu. Bukan untuk membenci, tapi untuk mencari tahu siapa perempuan yang kini menghuni ruang-ruang yang dulu kudiami.
Ia berbicara tentang batik. Tentang rumah tradisional. Tentang filosofi Jawa. Ia menyebutkan “perempuan Jawa adalah penjelma kenanga: wangi tanpa harus dilihat.”