Ruang sidang agak mirip gereja. Bangku-bangkunya dari kayu, panjang, dan berwarna cokelat. Namun, tidak ada patung Yesus dan Bunda Maria di tempat sidang. Aku sudah lihat-lihat sejak tadi dan belum menemukan mereka. Aku malah menemukan foto Pak Presiden dan Pak Wakil Presiden. Foto mereka mirip dengan yang ada di dinding kelas sekolah Jimmy. Tampangnya kayak penjual bakso di depan sekolah Jimmy yang menjual bakso isi daging, ternyata isi baksonya tepung saja, tidak ada dagingnya. Seperti penipu, tidak bisa dipercaya. Berbeda dengan Yesus Kristus dan Bunda Maria yang kayaknya bisa dipercaya.
Aku meracau lagi.
Aku tidak terlalu paham apa yang terjadi di sidang. Tapi aku tahu Jimmy-lah yang mengadu ke Pengadilan (tidak tahu siapa ini) bersama Papi Daniel tentang Papa yang membunuh Mama sehingga Papa bisa ditangkap Polisi. Mereka melakukan tanya-jawab seperti kuis yang pernah aku tonton di YouTube. Aku ingin bertanya pada Rosie mengenai kuis ruang sidang, tetapi tidak bisa. Aku dilarang menyalakan Rosie di ruang sidang, hanya boleh di luar ruang sidang. Sayangnya aku sudah duduk di bangku penonton ruang sidang bersama Mami Wina di sampingku. Dia terus-menerus menggenggam tanganku. Aku tanya dia saja.
“Jimmy kok jawab kuis terus sih?” tanyaku. Jimmy duduk paling depan, agak spesial bangkunya. Jimmy berhadapan dengan bapak-bapak tua yang memakai jubah tiga warna: hitam-merah-putih. Mereka terus saja memberi Jimmy pertanyaan.
Untunglah Jimmy bersama Papi Daniel. Papi Daniel ganteng banget dengan jas hitamnya. Papaku di kursi lain, di depan juga, tetapi agak jauh dari Jimmy. Papaku memakai baju dan celana garis-garis hitam dan putih. Dua tangan Papa terborgol rantai besi. Kasihan Papa. Dia mungkin tidak bisa makan dan cebok pakai tangan. Namun, mengingat Papa telah membunuh Mama, aku tidak lagi kasihan padanya. Hanya saja, aku tidak bisa membenci Papa seperti Jimmy membenci Papa. Aneh sekali deh aku ini. Aku juga tidak tahu alasannya.
“Kita dengarkan saja, ya,” jawab Mami Wina dan aku menurut.
Kira-kira seperti ini kuis yang didapat Jimmy:
“Jimmy Mergio Edewish. Menurut pengakuan papamu, mamamu sering mengeksploitasi kamu dan adikmu untuk membuat konten Instagram. Apa itu benar?” Pak Tua yang memakai jubah hitam-merah-putih, bertanya pada Jimmy. Kata Mami Wina, orang-orang yang memakai jubah hitam-merah-putih di persidangan dan memberikan pertanyaan, disebut hakim. Jadi, dia Pak Tua Hakim.
“Eksploitasi itu apa?” jawab Jimmy. “Saya kurang paham.”
Pak Tua Hakim bicara lagi. “Mamamu menggunakanmu dan adikmu secara sengaja untuk membuat video-video bertema tertentu yang kemudian diunggah di Instagram demi menghasilkan uang dan ketenaran.”
“Seperti artis maksud Bapak?” Jimmy lantas menggeleng. “Mama saya hanya seorang perawat. Dia membuat konten video kesehatan dan memang mengunggahnya ke Instagram. Dia hanya menunjukkan cara mengobati luka. Yah, semacam itu. Nggak ada hubungannya dengan alasan mama saya dibunuh,” kata Jimmy, suaranya agak bergetar. Terdengar seperti orang yang menahan marah. Aku tahu karena aku juga pernah begitu.
Jimmy belum selesai bicara. Katanya lagi, “Jangan membela papa saya, Pak Hakim. Saya sudah bukan anak kecil lagi. Tiga minggu lagi saya remaja SMP.”
“Ini ada hubungannya, Nak. Papamu juga berhak menyampaikan alasannya. Saya tidak membela siapa pun. Saya memihak kebenaran,” kata Pak Tua Hakim.
Mami Wina berbisik ke telingaku. “Jimmy sangat berani dan keren,” katanya. Aku mengangguk setuju, meskipun aku tidak tahu alasannya. Aku ikut saja.
***
Rumah Mami Wina lebih besar dari rumahku. Ruang tamu rumahnya punya kursi-kursi yang empuk dan bagus, serta ada piano besar. Tidak jauh dari piano, ada meja kecil tempat memutar musik piringan hitam. Pohon natal diletakkan di antara ruang tamu dan ruang keluarga. Pohonnya berhias lampu-lampu, kaus kaki bayi warna merah dan putih, dan hiasan bintang-bintang. Belum ada kado di bawah pohon itu—mungkin belum ditaruh.
Mami Wina dan Papi Daniel belum punya anak. Pernah aku tanya mengapa mereka belum punya anak. Papi Daniel jawab begini, “Karena kami belum dipercaya sama Tuhan untuk membesarkan anak. Mungkin kapan-kapan. Karena itu kami akan selalu memajang kaus kaki bayi di pohon natal rumah ini sebagai bentuk harapan.”
Aku kurang mengerti, jadi aku bertanya lagi, “Kenapa kalian sudah dipanggil mami dan papi saja? Kan, belum jadi orangtua? Semua anak di perumahan sini juga memanggil kalian mami dan papi.”
Mami Wina menjawab begini, “Kami yang suruh kok. Itu bagian dari harapan juga agar kami bisa segera punya anak. Kami bahkan membantu merawatmu sejak kamu berumur 3 bulan. Orang-orang menyebut kami memancing bayi.”
“Memancing bayi maksudnya apa?” tanyaku.
“Hm...” Mami Wina tampaknya bingung. “Coba tanya Rosie deh.”