RUMAH TANPA RUANG

Lia Seplia
Chapter #3

03: Seperti Orang Besar

Aku terbangun di ranjang bawah kamarku. Biasanya aku bangun dengan Garfield di pelukan. Bonekaku itu sedang tidak bersamaku. Dia di ranjang atas. Aku tertidur di ranjang bawah. Seharusnya Jimmy yang tidur di ranjang bawah, bukan aku. Aku bangkit duduk. Kuayunkan kakiku ke lantai. Di depanku, Jimmy duduk membelakangiku menghadap meja komputer. Dia bermain gim dengan sarung kuping menutup telinga. Kursinya berderit-derit setiap kali tubuhnya bergerak. Aku menatap jam dinding kamar. Pukul sembilan pagi.

“Abang...” aku memanggil Jimmy. Tetapi dia tidak menyahut. “Abang...”

Jimmy masih saja diam, asyik bermain gim online di komputer. Apa sarung kupingnya sudah diperbaiki? Bukankah kemarin sarung kupingnya rusak sehingga bisa mendengar suara-suara selain gim? Barusan dia tidak mendengar suaraku, aku simpulkan sarung kupingnya sudah baik-baik saja. Aku tendang kursinya.

Jimmy berbalik dan menatapku.

“Abang....” panggilku. “Kok aku tidur di ranjang bawah?”

Jimmy melepas sarung kupingnya. “Sudah bangun ya.” Aku mengangguk saja. “Ayo sarapan dulu.”

“Siapa yang menggendongku ke sini?” tanyaku. Yang aku ingat aku menangis keras-keras dan Mami Wina memelukku. Lalu, aku kelelahan dan tidur.

“Aku,” jawab Jimmy. “Kamu berat banget.”

“Di mana abang tidur?” tanyaku lagi.

Jimmy menunjuk lantai. “Pakai kasur lipat.”

Aku memanyunkan bibir. “Lain kali bangunkan saja aku.”

“Jam tanganmu ada di laci ini ya,” Jimmy menunjuk laci meja komputernya. “Kalau tablet, kata Mami Wina, simpan di rumah dia aja. Kamu kan belajar menggambarnya di sana, jadi tinggalkan di sana aja,” kata Jimmy.

Aku mengangguk saja. “Punya abang?” tanyaku.

“Aku cuma bawa sepeda ke rumah. Laptop aku tinggal di sana,” beritahu Jimmy. “Aku kan punya komputer di sini.”

Terdengar ketukan di pintu dari arah luar. “Julie, sudah bangun?”

“Belum bangun,” jawabku, lalu tersadar kalau aku salah bertindak. Kututup segera mulutku pakai tangan. Ah, bodohnya! Mama sekarang tahu kalau aku sudah bangun karena suaraku barusan. Jimmy malah tertawa.

“Ayo makan. Jimmy juga. Keburu siang.” Mama meninggalkan pintu kamar kami. Langkah-langkahnya terdengar menjauh dan kemudian hening.

“Abang belum makan?” tanyaku.

Jimmy menggeleng. “Mama baru pergi belanja pas aku bangun tadi. Kayaknya Mama baru selesai memasak. Ayo kita makan.”

Aku mengangguk. “Aku cuci muka dan gosok gigi dulu,” kataku, lalu berjalan ke kamar mandi.

“Oh, ya, Julie,” kata Jimmy, sehingga aku tidak jadi masuk kamar mandi. “Mama dan Papa bertengkar bukan gara-gara kamu mau masuk sekolah,” katanya. “Mereka bertengkar karena belum punya rumah aja.”

“Ini kan rumah kita,” jawabku.

“Ya, tapi kita bayar sewa ke pemilik rumah,” kata Jimmy. “Rumah Enna juga sama kok. Kalau Ruri dan Mami Wina sih nggak bayar sewa.”

“Kenapa nggak?” tanyaku, bingung.

“Karena rumahnya sudah mereka beli jadi rumahnya milik mereka,” jawab Jimmy. “Kita belum bisa beli rumah ini. Rumah ini belum jadi milik kita.”

“Oh.” Aku manggut-manggut. Lalu, aku cepat-cepat masuk ke kamar mandi. Aku kebelet pipis.

 

***

 

Rumahku bagus kok, tidak seperti rumah anak-anak kasihan yang tinggal di gubuk kumuh dan tidak punya toilet. Aku pernah melihat rumah anak-anak kasihan di YouTube. Saat itu aku bersama Enna dan Ruri sedang menonton video animasi berbahasa Inggris. Tayangan rumah anak-anak kasihan muncul kayak iklan. Kami terpaksa menonton. Mereka minta bantuan uang, kirim ke rekening ini katanya. Tidak kami kirimkan karena kami tidak paham tentang rekening.

Rumahku bagus. Ada toilet duduk di dalam kamar tidur. Lantai rumahku keramik. Dinding rumahku kuat, yang kalau aku pukul malah tanganku yang sakit. Rumahku punya AC. Mungkin karena bagus Mama dan Papa belum mampu membelinya. Kata Mama semua barang bagus selalu mahal. Kata Papa semua barang mahal belum tentu bagus. Aku bingung. Yang benar yang mana?

Aku sudah selesai cuci muka dan gosok gigi, tetapi tidak mandi. Nanti saja deh mandinya. Aku mau makan dulu. Aku keluar kamar dan melintasi ruang tamu. Ada kertas-kertas gambar rumah di sofa kecil di ruang tamu, berserakan ke karpet di lantai. Pasti Papa bekerja di sana tadi malam. Buktinya ada gelas kopi Papa di meja dan piring kecil berisi potongan roti. Tumben belum dibersihkan sama Mama.

Aku berjalan ke dapur. Di dapur ada satu meja makan dengan empat kursi warna putih. Jimmy sudah duduk di satu kursi. Mama muncul dari pintu samping toilet dengan keranjang kosong. Mama melihatku dan diam saja. Mama pasti baru selesai menjemur pakaian. Mama meletakkan keranjang kosong di dekat mesin cuci.

Aku duduk di samping Jimmy. Jimmy mengambilkan aku piring.

Lihat selengkapnya