Aku sedang main lompat tali bersama Enna dan Ruri di depan rumah Mami Wina. Main lompat tali gampang banget. Aku dan Enna berdiri agak berjauhan tapi berhadapan. Kami memutar-mutar tali ke arah yang sama. Ruri melompat-lompat dalam lingkaran tali, tapi tidak boleh menyentuh tali. Kalau tali kena badan langsung ganti orang. Aku sering main sama Ruri dan Enna. Mereka seumuran aku.
Enna punya mata kecil seperti aku. Ruri matanya agak besar. Aku dan Ruri rambutnya sama-sama pendek dan hitam. Rambut Ruri sedikit keriting kayak mi. Rambut Enna pirang, diikat kayak ekor kuda (bukan benaran rambut ekor kuda, hanya bentuk dan warnanya mirip). Aku dan Ruri sama-sama rambut hitam.
Sedang asyik main lompat tali, sebuah mobil berhenti di depan rumah Mami Wina. Mobilnya kecil. Kami berhenti main dan menepi. Rupanya Nenek Suri yang datang. Nenek Suri adalah mamanya Papi Daniel (aku pernah tanya-tanya). Dulu sekali dia sering mengunjungi Mami Wina saat Mami Wina sakit.
Nenek Suri cantik sekali padahal sudah nenek-nenek. Rambutnya masih hitam. Belum pernah aku lihat uban di rambutnya. Dia tidak memakai perhiasan seperti nenekku. Dia hanya membawa tas kecil. Nenek Suri masih kuat dan sehat. Dia jarang mengomel. Kalau dia mengomel, Mami Wina malah manja, bukan cemberut.
Bisa tidak ya aku tukar nenek saja. Biar mamaku tidak cemberut ketemu nenek.
Nenek Suri tersenyum pada kami. Kami juga balas tersenyum. Mami Wina keluar dari dalam rumah. “Mom!” Dia berlari menemui Nenek Suri.
“Kamu ini...” Nenek Suri mencubit lengan Mami Wina. “Kok belum dandan juga. Katanya mau pergi makan bareng.”
Mami Wina memeluk Nenek Suri. Dia kayak bayi besar saja. Dia bermanja-manja dengan Nenek Suri. “Aku pergi kayak gini aja.”
“Ya sudah.” Nenek Suri mengelus kepala Mami Wina. “Ayo.”
“Sebentar.” Mami Wina melepas pelukan Nenek Suri. Dia menatapku. “Julie, jam berapa mamamu pulang?” tanyanya.
“Mama tadi sif pagi. Kayaknya bentar lagi pulang,” jawabku.
“Kamu masih merawat dia?” Nenek Suri bertanya pada Mami Wina.
“Hahaha.” Mami Wina tertawa. “Dia udah kayak anakku aja. Dia bahkan tinggal denganku selama pandemi. Ingat? Mamanya takut seandainya membawa virus dari rumah sakit dan menularkannya pada anaknya yang masih kecil.”
“Kamu merawatnya lebih baik daripada mamanya. Kamu bahkan mengajarinya kalistung sebelum masuk sekolah,” kata Nenek Suri.
“Dunia sekolah kejam, Mom. Anak-anak harus siap dengan bekalnya. Lupakan saja anjuran menteri dan psikolog-psikolog sok asyik itu. Mereka bilang anak-anak belum perlu diajari membaca sebelum masuk SD? Dih. Modern, tapi kuno.”
“Cucu teman mama ada yang sudah kelas 6 SD belum lancar membaca,” kata Nenek Ratih. “Ada pula yang masuk SMP belum hafal perkalian.”
Aku tidak mengerti Mami Wina dan Nenek Suri bicara apa.
“Julie,” Mami Wina mendekatiku. “Mami mau pergi sama Nenek Suri. Kamu main di rumahmu aja ya. Tunggu mamamu pulang. Jimmy juga bentar lagi pulang sekolah kan,” katanya. “Jangan berkeliaran sendirian. Ntar diculik lho.”
Aku mengangguk.
Mami Wina juga bicara pada Enna dan Ruri. “Enna dan Ruri juga pulang ke rumah kalian ya. Ini udah mau sore. Mending mandi deh terus baca buku.”
Enna dan Ruri juga mengangguk. Kami selesai main lompat tali dan kembali ke rumah masing-masing. Kami takut diculik. Aku masuk ke rumahku dan mengunci pintu. Dari balik jendela aku melihat Mami Wina dan Nenek Suri pergi bersama. Tiba-tiba saja aku merasa sedih. Aku sendirian saja di rumah. Sering begitu. Aku kadang iri dengan Enna dan Ruri. Dua temanku itu tidak pernah sendirian di rumah. Mama Ruri di rumah sepanjang hari. Kalau Enna sih kakaknya yang di rumah terus, sedangkan mama dan papanya rajin ke kantor.
Jadi, aku tidur-tiduran saja di sofa sambil membaca majalah Home Win Home. Aku sudah pandai membaca. Mami Wina yang mengajari aku membaca, bukan Mama. Ada banyak kata di majalah yang tidak aku mengerti. Aku tanya-tanya pada Rosie bagian yang tidak aku pahami. Seru banget mendengar Rosie bicara. Rosie belum pernah marah jika aku tanya-tanya. Dia sabar dan baik dan pintar.
Sedang asyik membaca majalah dan bertanya-tanya pada Rosie, bel rumah berbunyi. Aku melompat turun dari sofa. Aku menyibak tirai jendela dan mengintip ke luar. Kata Mama, kalau yang datang orang asing, aku tidak boleh membukakan pintu. Rupanya Jimmy pulang. Dia memakai baju basket, tetapi celananya celana sekolah. Aku segera mengambil kunci dan membukakan pintu untuknya.
“Julie cantik...” sapa Jimmy. Aku tersenyum. Aku kunci pintu kembali.
“Kok abang pulang lama?” tanyaku.
“Tadi aku tanding basket sama anak kelas lain,” kata Jimmy. Dia duduk di karpet sambil buka sepatu dan kaus kaki. Tasnya di sofa. Dia bau keringat, seperti jeruk masam. Aku sudah terbiasa karena sekamar dengannya, jadi aku santai saja. Kalau mama sih sudah tutup hidung. Papa sering mengingatkan Jimmy agar pakai deodoran biar tidak dijauhi teman gara-gara bau badan. Aku tahu deodoran (cairan yang dipakai di ketiak) soalnya pernah aku tanyakan pada Jimmy.
“Mama belum pulang,” kataku, memberitahu.