Yang aku ingat setelah kembali ke rumah adalah aku makan roti lapis buatan Jimmy. Lalu aku mengantuk dan masuk kamar. Sepertinya aku tertidur. Ketika membuka mata kembali, aku berbaring di ranjang atas sambil memeluk boneka Garfield. Aku bangun dan turun dari ranjang susun sambil membawa Garfield.
Jimmy di kursi meja komputer, tetapi tidak bermain gim. Dia juga tidak pakai sarung kuping. Dia membaca komik Detektif Conan.
“Abang...” panggilku. Aku duduk di ranjang Jimmy. Boneka Garfield masih kupeluk. Aku menguap lebar. “Jam berapa sekarang?”
“Masih jam tujuh,” jawab Jimmy.
“Itu punya Papi Daniel kan?” Aku menunjuk komik yang dibaca Jimmy. Semua buku cerita yang dibaca Jimmy pinjaman dari Papi Daniel. Mama dan Papa hanya membolehkan Jimmy membeli buku teks pelajaran saja.
“Ini masih baru,” kata Jimmy. “Aku yang buka plastiknya duluan. Papi Daniel bahkan belum baca,” kata Jimmy. ”Tadi aku ke rumahnya pas kamu tidur.”
“Mama sudah pulang?” tanyaku.
“Sudah,” jawab Jimmy.
“Papa?” tanyaku lagi.
“Belum sih.” Jimmy menutup komik dan menaruhnya di meja. Dia kemudian bersila di lantai menghadapku. Kami bertatapan. Suaranya tiba-tiba agak lebih pelan. “Julie... dengarin aku ya,” kata Jimmy. Aku mengangguk.
“Apa yang Julie lihat tadi... jangan bilang ke Mama dulu,” suruh Jimmy.
“Yang mana?” tanyaku.
“Yang Papa sama cewek lain,” Jimmy mengingatkan.
Oh, ya, yang ituuu! “Kenapa nggak boleh bilang ke Mama?” tanyaku.
“Biar aku saja yang bilang ke Mama,” jawab Jimmy. “Aku sedang mencari waktu yang tepat untuk memberitahu Mama. Nggak sekarang,” katanya.
Karena Jimmy yang suruh, aku menurut saja. “Ya deh,” jawabku.
Jimmy mengulurkan tangan dan mengusap-usap kepalaku dengan lembut. Dia sedikit tersenyum. Tapi senyumnya terlihat sedih. Aku jadi ikutan sedih.
“Oh, ya,” Jimmy bicara lagi. “Tadi Mami Wina juga beli buku cerita baru lho,” beritahunya. “Mami menyuruhmu ke rumahnya untuk membaca bersama.”
“Oh yaaa?” Mataku melebar. Aku menjadi bersemangat. “Buku tentang apa?” Aku sangat suka baca buku cerita. Apalagi kalau ada kisah penyihir-penyihirnya.
“Hm, aku kurang tahu,” jawab Jimmy. “Kamu lihat aja deh sendiri.”
Aku mengangguk. Aku suka berlama-lama di rumah Mami Wina. Rumah Mami Wina menyenangkan. Ada pohon natal. Ada kado. Ada makanan enak. Ada gambar. Ada musik. Ada buku cerita. Semua buku cerita yang aku baca, atau dibacakan Mami Wina, adalah punya Mami Wina. Aku hanya pinjam.
Mami Wina punya perpustakaan di rumahnya. Ada banyak buku di sana. Mami Wina dan Papi Daniel kadang bekerja bersama di perpustakaan itu. Aku pernah meminta Mama membelikanku buku cerita karena aku pengin punya. Aku juga pernah meminta Papa membuatkan aku perpustakaan. Aku malah kena omel. Kata Mama pinjam saja buku-buku itu ke Mami Wina. Dengan begitu, aku bisa menghemat uang. Kata Papa, rumah kami sempit untuk dibuat perpustakaan.
Pintu kamar tiba-tiba berayun terbuka. Ternyata Mama datang. Dia membawa kamera dan kertas-kertas. Dia memandangi aku dan Jimmy bergantian.
“Ma, ketuk pintu dulu bisa nggak sih?” kata Jimmy.
“Halah, kamu ini...” Mama berjalan masuk lalu duduk di kursi meja komputer Jimmy. “Aku ini mamamu bukan orang lain. Masa harus izin dulu.”
“Biarpun mama mamaku harus ketuk pintu dulu sebelum masuk ke kamarku,” jawab Jimmy. “Ini privasi, Ma. Aku sudah besar.”
“Ya, ya.” Mama manggut-manggut. “Siswa sekolah taraf internasional memang beda,” kata Mama, agak terdengar bangga. “Nggak rugi aku keluar duit banyak.”
Mama dan Jimmy membahas apa, aku kurang paham. Aku diam saja. Aku memperhatikan keduanya sambil memeluk boneka Garfield.
“Mama mau minta bantuanmu,” kata Mama pada Jimmy.