Mama mengambil cuti kerja selama satu hari. Cuti berarti libur. Libur artinya beristirahat atau jalan-jalan. Mama tidak istirahat, tapi jalan-jalan. Pagi-pagi sekali, Mama mengajakku ke sekolah Jimmy (ini disebut juga jalan-jalan, meskipun kami naik motor bukan jalan kaki). Aku memakai rok warna pink bunga-bunga yang panjangnya sedikit di bawah lutut, serta baju lengan pendek yang ada kancing-kancingnya di bagian dada. Mama menyisir rambutku. Mama membolehkan aku membawa Rosie. Aku masukkan Rosie ke dalam tas rajut kecil milikku. Mama membantuku melingkarkan tali tas ke dada.
“Kita mau jemput abang, ya, Ma?” tanyaku.
“Nggak kok,” jawab Mama. “Mama mau mendaftarkan kamu ke sekolah yang sama dengan Jimmy,” beritahu Mama. “Kan bentar lagi Julie 7 tahun. Sudah harus masuk SD. Sayangnya sekolah sekarang ini tuh nggak sama kayak dulu. Dulu aja masuk SD bisa umur 6 tahun. Sekarang harus tujuh tahun baru bisa.”
“Aku tujuh tahun bulan Juli nanti,” kataku.
“Penerimaan murid baru berlangsung bulan Mei-Juni. Kamu tetap akan dianggap 6 tahun,” kata Mama. “Tapi nggak masalah, kamu kan masuk sekolah swasta, bukan negeri. Cuma sekolah milik pemerintah yang banyak bacot. Itulah kenapa Mama kerja keras agar kamu bisa belajar di sekolah swasta terbaik.”
Aku tidak mengerti apa yang dikatakan Mama. Aku diam saja deh. Kalau aku tanya-tanya nanti Mama marah lagi. Aku lebih suka Mama yang ramah seperti sekarang ini. Makanya, daripada aku membuat Mama emosi, meskipun aku pengin banget bertanya ke Mama atas kebingunganku, aku memilih diam saja.
“Seharusnya tahun ini kamu TK-B lho, tapi kamunya nggak mau,” ujar Mama lagi. “Untung saja Enna dan Ruri juga nggak mau masuk TK-B, makanya Mama biarkan saja kamu di rumah selama setahun ini.”
“Aku kan sudah TK-A,” jawabku. “TK nggak seru. Cuma main-main aja. Aku lebih suka belajar di rumah Mami Wina sama Enna dan Ruri.”
Mama tersenyum kecil. “Yah, sisi baiknya, kamu jadi pandai membaca dan menulis gara-gara seharian bersama Wina,” kata Mama. “Seharusnya Wina itu jadi guru saja. Kok bisa sih dia mengajar tanpa marah-marah, tanpa bentak-bentak.”
“Mami Wina memang pandai mengajariku,” kataku.
Mama mengangguk. “Makanya kamu belajar membaca dan menulis dengan bersemangat di sana. Kalau di rumah, kamu malah nggak betah.”
“Aku juga belajar berhitung,” kataku, karena barusan Mama lupa menyebut belajar berhitung padahal aku mempelajari hitung-hitungan juga. “Aku sudah hafal sampai angka 500. Angka-angka berikutnya hanya perlu diulang-ulang. Kayak 601, 602, atau 701, 702. Kayak gitu terus. Itu kata Mami Wina.”
Mama mengelus pipiku dengan lembut sambil tersenyum. “Pintarnya, anak Mama,” kata Mama, dan aku menyeringai malu. Aku senang, tapi malu juga. Aku suka sekali dipuji, tapi rasanya malu juga karena dipuji, hehehe.
“Ya, sudah. Kita berangkat, yuk?!” ajak Mama. Aku mengangguk.
***
Sekolah Jimmy seperti istana. Besar; tinggi; luas. Bagus banget, banget, bangeeet! Warna dindingnya putih susu dan biru lembut (kesukaanku!). Lapangannya teduh dan bersih. Ada banyak pohon dan tanaman terawat. Aku dan Mama melewati tiang upacara bendera (aku tahu upacara bendera karena pernah TK). Kami menuju gedung yang pintunya dijaga Pak Satpam. Sekolah Jimmy punya banyak Pak Satpam. Pak Satpam Parkiran. Pak Satpam Gerbang. Pak Satpam Gedung. Belum satu pun aku temui adanya Bu Satpam. Mungkin perempuan dilarang menjadi Pak Satpam.
“Selamat pagi, Mama.” Pak Satpam Gedung menyapa mamaku dengan ramah. Bukan berarti mamaku mamanya Pak Satpam. Orang-orang di sekolah memang memanggil orangtua siswa dengan sebutan Mama dan Papa. Itu juga terjadi saat aku di TK-A dulu, makanya aku tahu.
“Pagi, Pak Satpam,” jawab Mama. “Saya mau ke bagian administrasi.”
“Kalau boleh tahu ada keperluan apa, Mama?” tanya Pak Satpam Gedung. “Anaknya kelas berapa? Dan wali kelasnya siapa jika boleh tahu?”
“Saya mau mendaftarkan anak sekolah,” jawab Mama.
Pak Satpam Gedung melirikku sekilas sambil tersenyum kecil. Dia kemudian bicara lagi sama Mama. “Mohon maaf, Mama. Pendaftaran siswa baru di sekolah ini untuk tingkat SD sudah ditutup Desember tahun lalu,” kata Pak Satpam Gedung. “Tapi Mama bisa mendaftarkan anak Mama untuk tahun depan. Anaknya umur berapa kalau boleh tahu, Ma?”