Sebelum Mama menghilang, Mama sempat mengajak aku dan Jimmy makan bersama di restoran ayam goreng dekat rumah sakit tempat Mama bekerja. Mama kerjanya merawat orang-orang sakit di rumah sakit. Karena Mama seorang perawat, tugasnya merawat bukan mengobati. Yang mengobati orang sakit dan memberikan resep obat adalah dokter. Rosie pernah menjelaskannya padaku.
Cuaca saat itu sangatlah panas. Aku dan Jimmy duduk di dekat pintu karena kegerahan dan kami butuh angin. Kata Rosie, ‘butuh angin’ berarti: 1) jalan-jalan, dan atau 2) udara sejuk. Untuk saat ini arti ‘udara sejuk’ terasa lebih cocok karena ketika udara berembus ke arah kami, itu terasa cukup menyegarkan.
Apa aku meracau lagi?
Jimmy menghabiskan dua sayap ayam goreng dan segelas jus jeruk dengan cepat. Aku masih kesulitan menghabiskan satu paha ayam. Aku menusuk-nusuk ayam menggunakan garpu. Tiap kali mencoba menggigit dagingnya, ayam itu terjatuh dari garpu ke piring. Mama membantuku memungut remah-remah kulit ayam di sekitar piring. Tumben Mama tidak mengomeliku. Aku menjadi waswas karena ini tidak biasa. Sesuatu yang tidak biasa membuatku mudah curiga dan khawatir. Apa aku dan Jimmy bakal diajak syuting pura-pura lagi? Makanya Mama mengajak kami makan ayam goreng bersama?
“Mama nggak ikut makan?” tanyaku. Mama hanya minum jus alpukat. Dada ayam goreng di piringnya tidak dimakannya.
Mama mengangguk. “Ya. Nanti,” kata Mama.
Aku masih berusaha menghabiskan ayam gorengku yang sebesar tinju. Mama memindahkan ayam gorengnya ke piring Jimmy dan berkata, “Habiskan, ya.”
Jimmy mengangguk, mulutnya penuh.
“Jim...” kata Mama pada Jimmy. “Mama ingin bilang sesuatu.”
Jimmy berhenti mengunyah. Matanya berkedip pelan membalas tatapan Mama. Jimmy masih belum bicara. Lalu, Mama melanjutkan.
“Jim, kamu harus tahu.... Mama menyayangimu dan adikmu,” kata Mama, dengan suara lembut tetapi entah mengapa terdengar sedih di telingaku. Mata Mama juga kayak berkaca-kaca. “Mama nggak ada maksud marah-marah terus di rumah.”
Jimmy menelan makanannya dan menyedot habis minumannya.
“Mungkin benar, Mama sedang stres,” kata Mama.
“Apa stres bisa diobati?” tanya Jimmy.
Mama mengulum senyum. “Itu bukan penyakit yang bisa sembuh setelah kita minum obat,” kata Mama. “Penyakit pikiran memang sulit dipahami.”
Jimmy membersihkan minyak di tangannya dengan tisu.
“Jim...” kata Mama lagi. “Mama nggak akan pernah meninggalkan kamu dan adikmu. Apa pun yang terjadi, Mama akan selalu menyayangi kalian.”
Kenapa sih Mama tidak mengatakan hal itu sambil menatap mataku juga. Aku juga pengin diperlakukan sama. Aku jadi sedih. Mama hanya bicara pada Jimmy.
“Jika Papa mengatakan sebaliknya, jangan percaya,” jelas Mama.
“Aku tahu kok,” balas Jimmy. “Aku tahu Mama dan Papa menyayangiku dan Julie. Kalian kerja keras agar kami bisa mendapatkan apa yang anak-anak lain dapatkan juga. Kalian bertahan di rumah karena kami juga. Aku tahu kok,” kata Jimmy. “Makanya aku jadi sedih. Kalau aku dan Julie nggak pernah ada, apa Mama dan Papa bisa meninggalkan rumah dengan mudah?”
“Jangan bicara seperti itu. Kalian hadiah terbaik dari Tuhan untuk cinta kami. Mama dan Papa nggak akan ke mana-mana. Kami akan selalu bersama kalian. Selalu.” kata Mama, menekankan. “Cuma, yah, seperti inilah lika-liku pernikahan. Tiap pasangan berbeda cobaannya. Ini bagian tantangan berumah tangga.”
“Mama dan Papa nggak akan pisah?” tanya Jimmy.
Mama menggeleng. “Kalau Papa bilang Mama meninggalkan kalian, jangan percaya. Jangan pernah kamu mempercayainya. Itu pastilah bohong. Mama nggak akan pernah meninggalkan kalian berdua, rumah kita, atau pernikahan Mama dengan Papa. Akan Mama pertahankan apa pun yang terjadi. Jika Papa mengatakan hal itu, bahwa Mama meninggalkan kalian, berarti Papa sudah membunuh Mama. Selama Mama masih hidup, ketakutanmu nggak akan pernah terjadi.”