Aku pikir aku sempat tertidur kembali malam itu. Karena ketika bangun, hari sudah pagi. Jarum jam dinding sudah bergeser ke angka tujuh (jarum panjang) dan angka dua (jarum pendek). Aku buru-buru bangun dan menuruni ranjang cepat-cepat. Jimmy sudah tidak ada di ranjang bawah. Aku membuka pintu kamar dan mencari Jimmy. Rupanya Jimmy di dapur. Dia mengenakan seragam sekolah, tetapi belum berangkat sekolah. Biasanya di jam-jam seperti ini dia sudah berangkat sekolah, entah apa yang membuatnya belum juga meninggalkan rumah.
Papa juga di rumah. Papa di dapur. Papa masih mengenakan pakaian kemarin, celana jins pudar dan baju kaus hitam yang sama dengan saat dia bermain basket di lapangan dekat rumah. Hanya saja sekarang ada noda tanah di kaki-kaki celananya yang kemarin tidak ada. Tapi, Papa memang sering begitu karena pekerjaannya.
Jimmy dan Papa sedang bicara serius. Karena tidak ingin mengganggu, aku memperhatikan saja dari kejauhan. Aku berdiri di ambang pintu yang memisahkan dapur dengan ruang tengah. Aku mengintip dan menguping diam-diam.
“Jadi, maksud Papa....” kata Jimmy, “Mama-lah yang pergi dari rumah tadi malam? Bukan Papa?”
“Kami bertengkar, dan mamamu pergi,” jawab Papa. Dia meminum kopinya sedikit demi sedikit. Uap panas mengepul dari cangkir yang dia pegang.
“Mama nggak biasanya begitu,” balas Jimmy.
“Nanti juga dia kembali,” jawab Papa. “Sana, pergi sekolah.”
“Apa yang jatuh tadi malam?” tanya Jimmy lagi. “Kayak ada lemari jatuh.”
“Mamamu melakukannya,” kata Papa. “Dia membanting semua barang di kamar. Papa belum membereskannya. Nanti sajalah beres-beres.” Papa melihat arloji di pergelangan tangannya. “Papa harus berangkat kerja.” Papa meneguk habis kopinya lalu berdiri dari kursi. “Kamu mau Papa antar?” tanyanya.
“Aku naik sepeda saja,” kata Jimmy.
Papa meninggalkan meja dapur. Ketika berjalan menuju ruang tamu, Papa menemukanku. “Julie...” panggilnya.
Aku menampakkan muka. “Ya?”
“Duh. Nggak ada yang bisa kamu makan buat sarapan. Papa nggak sempat bikin apa-apa,” katanya, terdengar bersalah. Wajah Papa juga menunjukkan ekspresi kekecewaan. “Papa belikan makanan saja ya?”
Jimmy menemuiku dan mengusap kepalaku dengan lembut. “Aku pergi sekolah dulu. Main-main saja di rumah Mami Wina, ya,” katanya.
Aku mengangguk. Jimmy lalu berlari keluar rumah.
Papa lagi-lagi menatap arloji di pergelangan tangannya. Dalam jarak kami yang dekat, aku baru sadar kalau arloji Papa ada noda tanahnya juga meskipun sedikit.
Papa mendesah. Dia menggaruk kepala. Dia melihat dapur. Untuk beberapa saat, Papa bertolak pinggang memandangi kulkas. Aku rasa aku tahu apa yang Papa pikirkan. Dia pasti ingin membuatkanku roti bakar sebagai sarapan, tetapi di saat yang sama dia harus berangkat kerja. Aku benci roti bakar buatan Papa karena tidak enak. Lebih enak buatan Mama.
“Aku makan di tempat Mami Wina saja,” kataku, cepat-cepat memberikan ide tersebut. Makanan di rumah Mami Wina selalu ada. Selalu enak-enak. Aku sering makan di rumah Mami Wina jika makanan di rumahku tidak ada.
“Baiklah,” kata Papa. “Kalau gitu, Papa berangkat kerja ya.”
Aku mengangguk. Papa melangkah cepat-cepat meninggalkan rumah. Tidak lama kemudian, tinggallah aku seorang diri.
Aku masuk kamar kembali dan pergi mandi. Setelah itu, aku berganti pakaian. Aku menyisir rambutku yang sedikit basah. Aku memakai bedak tabur bayi dan parfum Jimmy. Aku naik ke ranjang atas dan mengambil Rosie. Aku turun lagi dan meninggalkan kamar. Aku ke dapur dan membuka kulkas. Ada banyak bahan makanan di kulkas yang bisa dimasak, tapi aku belum pandai memasak. Saat itulah bel pintu rumah berbunyi. Aku menoleh ke belakang. Siapa yang datang? Mamakah?
Aku menuju jendela dengan langkah pelan. Dari balik tirai, aku mengintip ke luar dengan hati-hati. Ada yang datang. Bukan Mama. Jimmy kembali ke rumah.
Aku membukakan pintu. Jimmy melempar sepedanya ke lantai dan memasuki rumah. “Kunci pintu!” suruhnya. Aku agak kaget karena suara Jimmy terlalu keras, seolah ada zombie di luar sana dan aku harus cepat-cepat mengunci pintu.
“Julie...” katanya, “Jangan bilang siapa-siapa kalau aku bolos sekolah hari ini,” katanya. Aku tidak mengerti mengapa Jimmy bolos sekolah hari ini, tetapi aku mengangguk saja. Karena dia Jimmy. Jika Jimmy yang suruh, aku akan menurut.
Jimmy menggantikanku mengunci pintu rumah. Aku masih memandanginya dengan bingung. Apa yang sebenarnya terjadi?
Jimmy menaruh tas sekolahnya di sofa. Setelah itu, dia menuju kamar Mama-Papa. Aku mengekorinya. Jimmy membuka pintu kamar Mama-Papa dengan pelan-pelan. Aku yang bersembunyi di balik punggungnya, mengintip ke depan.
Astagaaa! Kamar Mama-Papa seperti baru saja diamuk badai.
Kasur robek, busanya keluar-keluar. Seprai berpilin-pilin seperti kepangan rambut, terikat di salah satu kaki ranjang. Pintu lemari pakaian terbuka, pakaian-pakaian di dalamnya berantakan. Cermin rias meja retak, tapi tidak pecah. Yang pecah adalah bohlam lampu tidur yang ada di nakas samping tempat tidur.
Jimmy berkata padaku, “Jangan takut.” Dia meraih tanganku yang tak sengaja meremas seragamnya. “Masuk saja,” suruhnya.
Aku melepaskan pegangan dan keluar dari balik punggung Jimmy. Aku memberanikan diri melangkah lebih dekat ke dalam kamar Mama-Papa. Jimmy mengeluarkan HP-nya dan memotret kekacauan itu.
“Siapa yang melakukan ini?” tanyaku.
“Pasti mereka berdua,” jawab Jimmy. “Mama dan Papa.”
“Lalu, di mana Mama?” tanyaku.