Sudah pagi lagi, tetapi Mama masih belum pulang. Jimmy menjadi sensitif terhadap bunyi motor, bel, dan pagar. Jika ada motor yang melintas depan rumah, Jimmy cepat-cepat menyibak tirai jendela dan menengok ke luar. Kadang, bel rumah sebelah yang bunyi, tetapi Jimmy berjengit kaget dan berlari ke pintu hanya untuk memastikan. Kadang, pagar rumah sebelah yang dibuka-tutup pemiliknya, tetapi Jimmy masih saja memandang ke arah jalan hanya untuk terlihat kecewa. Aku memperhatikan saja karena tidak tahu harus berbuat apa padanya.
Sore hari, Papa mengajak kami bepergian bersama. Papa mau membeli kasur baru. Kasur yang lama robek, busanya mencuat dan berhamburan. Aku dan Jimmy menurut saja. Jimmy duduk di depan, di jok sebelah setir. Papa menyetir. Aku duduk di jok belakang. Jalanan sore itu cukup ramai. Setelah susah-susah melewati kemacetan, kami sampai juga di sebuah toko yang menjual kasur.
Aku dan Jimmy turun dari mobil dan mengikuti Papa ke dalam toko. Ada banyak kasur di sana. Semuanya kasur busa alias spring bed. Ada banyak ukuran dan corak. Papa membeli spring bed dengan ukuran single bed—khusus untuk satu orang.
Jimmy tiba-tiba protes. “Terus Mama tidur di mana?” tanyanya.
“Kasur lama kan masih ada,” jawab Papa. “Kasur lama nggak dibuang kok, tetap dipakai. Mama nanti tidur di kasur lama.”
“Kok gitu?” tanya Jimmy lagi.
“Mama pasti nggak akan mau tidur sama Papa,” jelas Papa. “Kami sedang bertengkar. Nanti setelah berdamai, kami baru tidur di kasur yang sama lagi.”
Jimmy akhirnya tidak bertanya lagi. Aku juga tidak. Aku lihat-lihat saja. Papa sekalian membeli bantal dan guling baru. Papa membayar. Aku dan Jimmy keluar lebih dulu untuk kembali ke mobil. Kami menyaksikan dua orang karyawan toko mengikatkan kasur yang dibeli Papa ke atas mobil kami. Papa menyimpan bantal-guling yang dibeli di bagasi mobil. Kemudian, Papa menyuruh kami masuk ke mobil.
Kami tidak langsung pulang. Kami singgah dulu ke sebuah restoran.
“Kalian tunggu saja di sini,” suruh Papa. “Papa beli makan malam dulu untuk kita bertiga. Nggak lama kok,” kata Papa, lalu turun dari mobil.
Jimmy tiba-tiba saja memeriksa isi mobil Papa. Dia beralih ke belakang dan memeriksa setiap sudut jok. Dia juga memeriksa barang-barang di bagasi. Setelah tidak menemukan apa-apa dia kembali ke depan dan meraba-raba atap. Dia juga memeriksa kertas-kertas bon yang menumpuk di dasbor, kemudian laci dasbor.
Jimmy tertegun. Dia sediam patung. Gara-gara itu aku ikutan melongok ke depan memperhatikan laci dasbor yang dibuka Jimmy. Ada sebuah foto di sana. Jimmy mengambilnya. Aku ikutan melihat foto tersebut.
“Itu kan Perempuan Kurus Rambut Pirang,” kataku, teringat perempuan yang bermesraan dengan Papa di rumah yang ada patung duyungnya.
“Dia sudah punya anak,” Jimmy menunjuk satu-satunya wajah anak laki-laki tinggi-kurus yang ada di foto itu, sedang duduk di kap mobil, diapit oleh Perempuan Kurus Rambut Pirang dan Papa. Ketiga-tiganya tersenyum ke kamera.
“Umurnya berapa?” tanyaku.
“Nggak tahu,” jawab Jimmy, dia mengeluarkan HP-nya. “Agak susah mengira-ngira umur hanya dari fisik,” katanya. Dia memotret foto itu.
“Kenapa difoto?” tanyaku.
“Ini kayak Detektif Conan,” jawabnya. “Semua bukti harus disimpan, sekecil apa pun,” katanya, lalu mengembalikan foto itu ke tempatnya.
Tidak lama kemudian, Papa kembali ke mobil dengan membawa tiga bungkus makanan. Dia meletakkannya di jok samping tempat dudukku. Setelah itu, kami pulang ke rumah tanpa berbicara satu sama lain. Setiba di rumah, aku dan Jimmy makan bersama, masuk kamar, dan tidur (Jimmy masih sempat main gim). Papa sibuk menata kasur barunya di kamar, dan tertidur (mungkin kelelahan, biasanya begitu).
Keesokan paginya, setelah Papa berangkat kerja, Jimmy mengajakku melapor ke Papi Daniel dan Mami Wina. Aku bahkan belum cuci muka dan gosok gigi. Aku juga belum sarapan. Tapi karena Jimmy yang suruh, aku menurut saja.
Jimmy menceritakan semua yang dia ketahui pada Mami Wina dan Papi Daniel. Jimmy memperlihatkan foto-foto yang sempat dia ambil yang dia namakan bukti. Mami Wina mengusulkan agar kami melaporkan mamaku sebagai orang hilang ke polisi. Pukul sembilan pagi, aku, Jimmy, dan Papi Daniel tiba di kantor polisi.
***