“Abang nggak ke sekolah?” tanyaku, agak heran. Jimmya tidak pergi-pergi ke sekolah lagi sejak bolos hari itu. Dia tidak pula main gim. Dia hanya mencoret-coret kertas sambil sesekali memeriksa HP-nya.
“Sudah lama selesai,” jawab Jimmy. “Aku ke sekolah hanya karena malas saja di rumah. Di sekolah, aku bisa bertemu teman-teman dan main bareng.”
“Nanti kan pas SMP masih bisa,” kataku.
“Belum tentu,” jawab Jimmy. “Kan bisa aja kami beda sekolah.”
“Terus abang ngapain sekarang?” tanyaku. Kalau aku sih mau pergi main dengan Enna dan Ruri. “Masuk sekolah masih lama. Masih satu bulan lagi.”
“Aku mau mencari Mama saja,” kata Jimmy. “Aku sedang menunggu jawaban Detektif Ricard. Dia bilang dia akan ke sini.” Jimmy memeriksa HP-nya lagi.
“Aku pergi dulu ya,” kataku. “Kalau abang mencariku pergi saja ke rumah Enna. Aku mau belajar bahasa Inggris sama kakak Enna.” Kakak Enna memang di rumah saja kerjanya, tapi dia penerjemah bahasa. Kakak Enna bisa bicara dalam tiga bahasa: Indonesia, Inggris, dan Korea. Kerjanya agak mirip Rosie: menjelaskan sesuatu. Tetapi kakak Enna menjelaskan dalam bahasa berbeda.
“Ya sudah,” Jimmy mengangguk. “Kalau lapar pulang ya.”
“Kita makan apa nanti?” tanyaku. “Pesan makanan lagi?”
“Hm, lihat nanti deh,” balas Jimmy. “Atau kita makan di rumah Mami Wina aja biar hemat,” katanya. Jimmy terdengar seperti Mama jika sudah pelit.
Tiba-tiba bel rumah berbunyi lalu diikuti seruan, “JIMMYYY!!!”
Aku bisa menebak siapa yang datang berkunjung. Dari suaranya jelas anggota tim basket Jimmy. Jimmy meninggalkan kamar menyambut teman-temannya. Aku mengekor. Aku putuskan tidak jadi ke rumah Enna karena ingin menemani Jimmy.
***
Teman basket Jimmy ada lima orang. Kelimanya duduk-duduk di sofa ruang tamu rumahku. Jimmy menyuruhku mengambil lima kaleng soda dalam kulkas untuk diberikan pada teman-temannya. Kalau cuma itu sih aku bisa, tapi kalau disuruh bikin teh atau kopi dan sirop aku menyerah saja.
Aku duduk di samping Jimmy sambil menyimak obrolan Jimmy dan teman-temannya. Jimmy baru saja menolak ajakan teman-temannya main gim dan basket. Jimmy memberitahu teman-temannya bahwa mama kami hilang.
“Jadi gara-gara itu kamu nggak main gim lagi?” tanya Fredi. Kepalanya pitak dan kulitnya seputih susu.
“Aku nggak bisa fokus main gim karena pikiranku ke Mama terus,” jawab Jimmy, suaranya terdengar sedih.
“Tapi kita sebentar lagi ada pertandingan basket. Kita harus latihan,” kata Dion. Dia berwajah kecil dan berkacata mata mirip Harry Potter. Aku tahu siapa Harry Potter. Harry Potter adalah pemain film Harry Potter (nama artis dan nama filmnya memang sama). Pernah aku tonton filmnya bersama Enna dan Ruri di rumah Mami Wina. Mami Wina yang suruh biar kami terbiasa mendengar pelafalan bahasa Inggris, begitu katanya. Aku baru nonton satu episode.
Jimmy memasang wajah memelas. Embusan napasnya sedikit agak kentara. “Maaf, ya. Aku nggak bisa bantu tim,” katanya, lirih banget kayak orang lagi sedih. “Aku duduk di cadangan saja. Cukup kalian berlima yang main penuh waktu. Kalau ada yang cedera baru aku masuk. Tapi, usahakan jangan cedera. Kita sebentar lagi masuk SMP. Orangtua kita pasti inginnya kita sehat-sehat aja.”
“Santai saja,” kata Sandy. Dia menepuk pelan bahu Jimmy. Dia paling jangkung dan paling kurus seperti tiang listrik. “Apa ada yang bisa kami bantu?” tanyanya.
“Ya. Katakan saja,” ujar Keith. Dia berambut keriting seperti mi. Badannya besar seperti bodyguard (ini bahasa Inggris!) yang berarti pengawal atau penjaga. “Akan kami bantu menemukan mamamu,” kata Keith.
“Ini harus jadi misi rahasia,” kata Eriko. Dia bermata kecil. Dia juga mengenakan kawat gigi. “Jangan bilang siapa-siapa kalau kami membantumu mencari mamamu. Kita harus menyelidiki kasus hilangnya mamamu secara diam-diam,” katanya.
“Seperti detektif,” ujar Dion. “Bergerak diam-diam.”
“Kalian ingin membantuku?” tanya Jimmy, suaranya terdengar meragukan. “Kita? Yang masih 12 tahun?”
“Aku sih 13 tahun.” Sandy protes. “Kamu aja yang kecepatan masuk SD.”
“Kamu yang lambat masuk SD,” balas Keith.
“Hahaha.” Mereka tertawa-tawa bersama.
Aku bisa melihat Jimmy ikut tertawa meskipun sambil menyengir. Syukurlah. Setidaknya Jimmy masih bisa menunjukkan sedikit ekspresi gembiranya. Aku sedih jika Jimmy murung terus sedangkan aku tidak tahu harus berbuat apa untuknya. Untunglah Jimmy punya teman-teman yang baik yang mau membantunya.
“Kamu bilang papamu selingkuh?” tanya Fredi. Jimmy mengangguk. “Ada fotonya? Coba aku lihat?”
Melalui HP-nya, Jimmy menunjukkan foto Perempuan Kurus Rambut Pirang bersama anaknya dan papaku, berfoto di depan mobil putih di rumah yang ada patung duyungnya. Teman-teman Jimmy beramai-ramai memperhatikan foto itu.
“Lho?” Eriko menunjuk-nunjuk wajah Si Anak Laki-Laki yang ada di layar foto. “Ini kan siswa baru di kelasku,” katanya. “Baru tiga bulan lalu dia pindah. Dia besar di Australia. Bahasa Inggris-nya jago. Namanya Vino.”
“Hah?!” Jimmy terdengar kaget. “Siswa baru? Kok aku nggak tahu?”