Malam harinya Papa menemui aku dan Jimmy di rumah Mami Wina dan Papi Daniel. Sepertinya Papa sudah tahu apa yang terjadi pada kami dan nenek. Papa mengajak kami pulang, tapi Jimmy bersikeras menolak. Karena Jimmy tidak mau pulang, aku pun tidak. Aku akan tetap bersama Jimmy apa pun yang terjadi.
Papi Daniel menyilakan Papa duduk di ruang tamu rumah mereka. Jimmy dan Papa duduk berseberangan. Aku di pangkuan Mami Wina.
“Kamu benaran nggak mau pulang?” tanya Papa pada Jimmy.
“Usir dulu nenek baru aku pulang,” jawab Jimmy. Dia tidak memandangi Papa saat bicara. Matanya tertuju ke arah lain. Jimmy menyilangkan dua lengannya di dada. Aku juga mencoba menyilangkan dua lenganku di dada.
“Nenek datang ke rumah untuk membantu papa mengurus kalian,” ujar Papa. “Papa kan harus kerja. Mama belum pulang. Nenek jauh-jauh ke rumah kita untuk membantu kita. Masa harus diusir?”
“Aku nggak mau tahu,” balas Jimmy, masih memberengut. “Aku dan Julie nggak butuh diurus tuh. Aku bisa mengurus diri sendiri. Aku bisa mengurus Julie.”
“Jadi kamu bisa masak dan mengepel rumah?” tanya Papa.
“Aku bisa makan di sini,” balas Jimmy. “Rumah kan nggak kotor.”
“Jangan merepotkan Daniel dan Wina,” kata Papa.
“Kami nggak apa-apa kok direpotkan,” Mami Wina menjawab.
Papa memandangi Mami Wina. Lalu, aku. Papa menghela napas berat dengan kentara. “Julie, kamu nggak boleh lempar-lempar barang,” Papa mengomeliku. Aku memanyunkan bibir. “Kening nenek sampai berdarah tuh kena gelas.”
“Dia mendorong Jimmy!” kataku, setengah berteriak. Sesuatu dalam kepalaku menyuruhku agar melawan. Aku harus marah karena Papa menyalahkan aku. Aku kan tidak salah. “Nggak boleh ada yang jahat ke Jimmy!” Mataku nyalang menatap Papa. “Kalau Papa paksa-paksa Jimmy pulang, aku lempar juga gelas ke Papa!”
“Julie....” Mami Wina mengelus bahuku dengan pelan. “Nggak boleh bicara kayak gitu sayang. Jangan teriak-teriak. Baik-baik ngomongnya.”
“Kenapa nggak boleh?” tanyaku, bingung. Suaraku masih meninggi. Aku memang masih marah. “Mama dan Papa juga suka bicara sambil teriak-teriak. Kenapa aku nggak boleh?” kataku.
Mami Wina meringis. Tidak dia menjawab pertanyaanku. Ih, sebel deh!
Papi Daniel berdeham pelan. “Memangnya Orin ke mana, Jo?” tanyanya pada Papa. “Kapan Orin pulang? Dia cuti kerja atau gimana?”
“Nggak tahulah, Dan,” balas Papa, menggeleng lemah. “Dia pergi begitu saja dari rumah malam-malam. Kami memang bertengkar saat itu. Aku pergi mencarinya sampai pagi, tapi dia nggak kelihatan. Pusing aku dengan Orin itu.”
“Papa sudah pernah tanya teman-teman Mama?” Jimmy kembali bersuara. Dia menatap Papa dengan tajam. “Papa sudah mencari Mama ke rumah sakit?”
“Sudah,” jawab Papa. “Mamamu ambil cuti kata mereka.”
“Berapa hari?” tanya Jimmy lagi.
“Hm, lupa pula papa menanyakannya,” jawab Papa. “Tapi, kalau mamamu nggak kembali gimana? Kamu akan tetap tinggal di sini?”
“Kalian akan bercerai?” tanya Jimmy.
Papa mengerutkan kening. “Kenapa kamu menanyakan itu?” balasnya.
“Hanya... hanya, me-menebak,” Jimmy bicara dengan terbata. Dia memalingkan muka ke arah lain. Dia terlihat kikuk seakan takut ketahuan menyembunyikan sesuatu. Kenapa ya Jimmy seperti itu? Kenapa tiba-tiba dia gelagapan?
“Hem,” Papi Daniel berdeham lagi. “Kalau begitu, Jimmy dan Julie tinggal di sini saja untuk sementara,” Papi Daniel memberi usul. “Mereka juga sering tinggal di sini kalau Orin lembur kerja. Santai sajalah. Mereka nggak merepotkan kok.”
Papa menghela napas dengan kentara lagi. Bahunya melemas. Dia menggaruk kepala. Dia memandangi aku dan Jimmy. Lalu, langit-langit ruangan. Tampaknya Papa sedang berpikir. Dia pun akhirnya mengangguk singkat. “Baiklah,” katanya.
***
Jimmy dan Papi Daniel tidur di satu kamar. Aku dan Mami Wina di kamar lain. Aku lupa membawa Garfield. Aku butuh Garfield untuk tidur. Tetapi karena ada Mami Wina di sampingku, tidak apa-apa deh. Aku bisa tidur tanpa Garfield.
“Mau mami ceritakan sebuah dongeng?” tanya Mami Wina sambil mengelus-elus rambutku. Kami berbaring di ranjang kamarnya. Kami juga memakai selimut yang sama. “Dongeng apa yang Julie yang suka?”
“Putri Duyung,” jawabku. “Tapi Mama nggak suka.”
“Kenapa nggak suka?” tanya Mami Wina lagi.