Jika dilihat dari dekat, ternyata kolam patung duyung di rumah Perempuan Kurus Rambut Pirang hanyalah kolam ikan, bukan kolam renang. Aku perhatikan lagi baik-baik, ternyata kolamnya masih cetakan kasar. Hanya patung duyungnya yang sudah setengah jadi. Dinding-dinding kolamnya yang berbentuk telur belum selesai, masih dalam susunan batu bata. Sepertinya baru saja dirombak ulang karena bentuknya berbeda dengan yang pernah aku lihat waktu itu. Jika aku tidak salah ingat, waktu itu sih bentuk kolamnya serupa kubus.
Aku agak lama memandangi kolam itu karena bentuk duyungnya aneh. Jelek banget. Ekornya terlalu melengkung ke atas. Seharusnya melentik ke samping. Berbeda sekali dengan duyung animasi yang aku lihat di YouTube.
“Ayo masuk ke rumahku.” Anak Laki-Laki bernama Si Vino mengajak Jimmy dan teman-temannya masuk ke rumahnya.
Jimmy meraih tanganku. “Ayo, Julie,” katanya. Aku mengangguk.
Kami memasuki rumah Si Vino. Teman-teman Jimmy duduk-duduk di sofa ruang tamu. Si Vino meletakkan tujuh kaleng soda di meja lalu kue-kue kering dalam empat stoples. Dia tampak sibuk sekali menjamu kami.
Jika aku perhatikan lagi, rumah Si Vino cukup bagus, tapi berantakan. Ada banyak barang yang tidak tersusun pada tempatnya. Benda-benda yang seharusnya berada di dapur berada di ruang tengah, tampak saja dari ruang tamu. Kayaknya rumahnya sedang dirombak juga karena aku melihat ada banyak pasir dan bata dan semen di halaman rumahnya saat aku masuk tadi. Alih-alih sunyi, rumahnya berisik oleh ketukan palu dan obrolan orang-orang yang terdengar dari area belakang.
“Maaf, ya, rumahku nggak banget sekarang,” kata Si Vino. “Lagi perbaikan sih. Jadinya kotor dan berantakan gini. Para tukang bangunan juga berisik.”
“Santai aja,” balas Dion.
“Mamamu ke rumah sakit ya?” tanya Fredi. “Sakit apa?”
“Aku yang sakit,” balas Si Vino. “Mama ambil hasil lab aku aja.”
“Kamu sakit apa?” tanya Sandy.
“Diabetes,” jawab Si Vino. “Kelebihan gula sih katanya.”
Eriko juga bertanya, “Gara-gara minum kopi ya?” katanya.
Si Vino menyengir kaku. “Aku sering makan junkfood. Kue-kue berkrim, donat, mi. Pokoknya olahan tepung deh. Aku juga jarang minum air putih. Aku kebiasaan minumnya es kopi dan es teh kalau lagi makan. Kadang-kadang Fanta, Sprite, Coca-Cola kalau lagi nyemil. Pokoknya minuman berwarna kemasan gitu. Aku juga sering bergadang main gim. Numpuk deh penyakitnya.”
“Gawat itu,” balas Keith. “Bisa sekalian gagal ginjal juga.”
“Hush!” Dion memukul lengan Keith dengan pelan. “Didoakan agar dia segera sehat, bukan ditakut-takuti,” katanya.
“Semoga Vino cepat sembuh,” kata Keith. Semua orang mendadak tertawa.
Aku lihat Jimmy menyengir saja. Dia diam sejak tadi.
Kalau aku lihat-lihat lagi, Si Vino badannya agak gempal. Untung saja dia cukup tinggi sehingga tidak terlihat gendut-boncel. Pipinya tembam. Kaki serta lengannya besar, mampu mengalahkan milik Jimmy dan teman-temannya. Dia cocok menjadi atlet basket jika sedikit kurus. Aku rasa dia harus diet jika ingin menjadi pebasket.
“Jadi, apa syarat untuk gabung ke tim basket kalian?” tanya Si Vino. “Waktu aku tinggal di luar negeri dulu, aku dan ayahku sering menonton pertandingan basket. Aku nggak punya tim basket sih di sekolah lama, tapi aku senang main basket.”
“Apa larimu kencang?” tanya Sandy. “Kami butuh pemain yang gesit, lincah, dan larinya kencang.”
“Nggak perlu khawatir. Meskipun aku gemuk, lariku nggak lamban kok,” kata Si Vino. “Tapi, aku memang harus diet sih. Aku akan rajin berolahraga. Aku janji. Dokter memang sudah suruh aku olahraga kok, demi kesehatan katanya.”
“Papamu di mana?” tanya Fredi. “Kerja?”
“Lagi sekolah lagi di luar negeri,” balas Si Vino. “Tahun depan udah balik kok. Papaku dosen. Kalau mamaku sih punya usaha rumah makan.”
“Ohhh....” Teman-teman Jimmy mengangguk-angguk. Aku lihat Jimmy. Jimmy diam saja. Jadi, aku pun tidak mengangguk.
Tiba-tiba saja Jimmy bicara. “Apa mamamu pernah cekcok, maksudku, bertengkar dengan perempuan lain di sini?” tanyanya. Aku lihat dia tegang sekali. Teman-temannya diam dan gelisah. Mereka tidak bisa berpura-pura seperti berakting. Kelihatan jelas sekali, bahkan olehku. Aku ingin tertawa, tapi kurapatkan erat-erat bibirku. Aku tidak boleh mengacaukan rencana mereka.
“Nggak tuh,” jawab Si Vino. Dia menggeleng pelan. “Orang-orang di sekitar sini baik-baik saja dengan mamaku.”
“A-apa mamamu sering bawa teman juga ke sini?” Eriko bertanya, sama tegang dan gugupnya. “Apa mamamu punya banyak teman?”
“Mamaku sih temannya banyak. Tentu saja teman-teman mamaku pernah ke sini.” Si Vino mengangguk. “Memangnya kenapa?” tanyanya.
“Ah, nggak ada kok.” Teman-teman Jimmy kompak mesem-mesem.
“Nanya aja,” kata Fredi. “Kalau aku sih nggak suka teman-teman mamaku ke rumah. Berisik. Kalau ngomong udah kayak pasar raya.”
“Benar-benar tuh,” kata Si Vino, antusias. “Mereka bisa mengobrol berjam-jam kan. Mana ketawanya kencang banget. Padahal cuma arisan atau menggosip.”
Aku lihat lagi Jimmy. Tatapan Jimmy berkeliaran memantau ruangan.
“Lalu gimana dengan tes masuk tim basket kalian?” tanya Si Vino lagi. “Aku mau banget join bareng kalian.”
“Kami tanya Guru Pelatih dulu, ya,” kata Keith.
“Saranku sih, kamu mulai latihan mandiri aja dulu,” ujar Sandy.
“Nanti kalau ada pemberitahuan lebih lanjut kami kabari,” kata Eriko. “Soalnya yang menguji kan Guru Pelatih. Nanti uji tandingnya dengan kami kok.”
Dering HP Si Vino menyela pembicaraan mereka. Si Vino segera menerima panggilan telepon miliknya. “Ya. Bunda?”
Jimmy dan teman-temannya saling lirik.
“Oh, Bunda udah di jalan pulang? Ya, deh. Oke. Apa? Teman-temanku? Oh, mereka udah datang kok. Beliin kue aja, ya, Bun,” kata Si Vino.
Jimmy dan teman-temannya saling mengangguk memberi kode.
“Bye, Bunda.” Si Vino menutup HP-nya.
“Bundaku udah di—”
“Kami harus pulang,” Jimmy memotong ucapan Si Vino. “Kami ada latihan setelah ini,” katanya. Jimmy memandangi teman-temannya, bertanya, “Ya, kan?”