RUMAH TANPA RUANG

Lia Seplia
Chapter #16

16: Titik Terang

Jimmy sedang main gim memakai komputer Papi Daniel. Aku duduk-duduk di sebelah Jimmy dengan dua kaki bersila di kursi dan tubuh membungkuk ke meja. Tanganku sibuk menggunakan tablet. Aku sedang belajar menggambar. Aku belum bisa menggambar sebagus Mami Wina. Tapi, aku sudah bisa membuat bingkai dan pola. Enak banget menggambar di tablet, garis lurusnya benar-benar lurus dan garis lengkungnya bisa disesuaikan. Berbeda saat menggambar di buku tulis, susah sekali membuat garis yang benar-benar lurus atau lengkung. Jenis warnanya juga banyak, tidak perlu bawa-bawa krayon.

“Lagi gambar apa tuh?” tanya Jimmy, tanpa benar-benar menatapku. Matanya masih sibuk memperhatikan gim komputer. Jari-jarinya bergerak cepat di kibor.

“Gambar rumah,” balasku. “Aku mau bikin rumah.”

“Rumah untuk Garfield?” tanya Jimmy lagi.

Kugelengkan kepala. “Rumah untuk kita.” Aku geser tabletku padanya. Aku tunjukkan apa yang aku gambar. “Nanti ada empat kamar tidur.”

Jimmy menoleh memandangiku, lalu menatap tabletku. Dia berhenti main gim. Dia memperhatikan apa yang aku tunjukkan. “Itu kok garis-garis aja?” tanyanya.

“Baru ini yang bisa aku bikin,” kataku. “Bikin rumah ternyata susah.”

Jimmy memperhatikan lagi gambarku. “Yang mana kamarmu?”

Lalu, aku bersemangat menunjukkan denah rumah yang aku buat. Ruang yang aku batasi di bagian kanan bawah sekali adalah halaman rumah sedang sebelah kirinya garasi. Lalu, ruang tamu, berdampingan dengan ruang keluarga. Setelah itu ada empat kamar tidur, masing-masing sepasang dan letaknya berseberangan. Lalu, ada ruang makan yang terpisah dengan dapur. Ada kamar mandi dan laundry. Di belakang rumah ada taman dan tempat jemur pakaian.

“Kamarku yang di sebelah kanan. Kamar abang di sebelah kamarku,” kataku, sambil menunjuk apa yang kugambar. “Kamar Mama di seberang kamarku sedang kamar Papa di sebelah kamar Mama, di depan kamar abang.”

Aku lihat Jimmy mengerutkan kening. “Kok kamar Mama dan Papa dipisah?” tanyanya. Suaranya terdengar heran. “Kok nggak satu kamar aja?”

“Masing-masing dapat satu kamar,” kataku, menjelaskan. “Nanti kalau aku sudah menjadi arsitek, aku bisa bikin rumah seperti Mami Wina karena duitku banyak. Aku bakalan bikinkan kamar masing-masing untuk kita.”

“Bukan itu maksudku,” balas Jimmy, menggeleng. “Mama dan Papa seharusnya satu kamar, nggak dipisah. Kamar kita yang dipisah.”

“Nggak boleh!” Aku bersikeras. “Selama ini Mama dan Papa tidur bareng terus karena nggak punya kamar lain di rumah kita. Aku dan abang juga gitu. Jadi, kalau aku sudah bisa bikin rumah nanti, Mama dan Papa harus dapat kamar sendiri.”

“Mama dan Papa memang harus tidur bareng,” kata Jimmy, “soalnya mereka pasangan menikah. Mereka suami-istri. Kita yang nggak boleh satu kamar.”

“Kok gitu?” tanyaku. Keningku mengerut. Aku menjadi bingung. Mengapa Mama dan Papa harus satu kamar jika mereka bisa dapat kamar masing-masing?

“Nanti kalau kamu sudah sebesar aku, pasti paham,” kata Jimmy.

“Aku sudah besar,” jawabku. Aku menolak dianggap masih kecil.

“Belum. Sedikit lagi,” kata Jimmy. Lalu, dia menunjuk denah rumah yang aku buat. “Di mana perpustakaannya?”

“Oh, ya. Duh.” Aku melupakan ruangan yang pernah aku minta ke Mama dan Papa. Aku butuh perpustakaan seperti milik Mami Wina. Aku perhatikan denahku kembali. Sudah tidak ada ruang untuk menggambar perpustakaan. Aku harus membuat ulang gambar atau menghapus satu bagian ruangan. Aku tidak mau melakukan keduanya. “Hmmm...” aku mengetuk-ngetukkan pen tablet ke meja.

“Hapus aja kamar Papa, jadikan perpustakaan,” Jimmy memberi usul, “biar Papa tidur di kamar Mama.”

“Nggak boleh,” kataku, agak keras kepala. “Masing-masing kita punya kamar sendiri-sendiri. Kan aku arsiteknya.”

“Hahaha.” Jimmy malah tertawa menanggapiku. “Arsitek harus nurut ke klien,” kata Jimmy. “Tanya aja Mami Wina kalau nggak percaya.”

Masih kugelengkan kepala.

“Bikin aja lantai dua,” Jimmy kembali memberi usul.

Ah! “Benar juga.” Aku manggut-manggut. “Lantai dua adalah perpustakaan.” Aku menambar gambar baru di atas gambar lama.

Aku mendengar langkah kaki yang menuju ke arah kami. Aku dan Jimmy refleks menoleh ke belakang. Mami Wina yang datang. Dia menghampiri kami dengan wajah memberengut. Dia menyilangkan dua lengannya di dada. Katanya, “Papa kalian datang tuh. Dia mau bicara.”

 

***

 

Aku dan Jimmy duduk bersama Papa di ruang tamu rumah Mami Wina. Mami Wina berdiri saja di ambang pintu masuk rumah layaknya penjaga, dan sibuk dengan HP-nya. Aku di sebelah Jimmy, berhadapan dengan Papa tapi terpisah meja.

“Papa mau ajak aku mencari Mama?” tanya Jimmy. Papa baru saja menjelaskan bahwa dia mengambil cuti dan mengajak Jimmy mencari Mama.

“Aku ikut!” kataku. “Aku mau cari Mama juga.”

Papa mengangguk. “Ya, kita bertiga besok mencari Mama, ya,” katanya.

Aku lihat Jimmy tidak mengangguk, tidak pula menggeleng. Dia tidak terlihat senang. “Ke mana?” tanya Jimmy. Suaranya terdengar meragu.

“Ke rumah orangtua Mama,” kata Papa.

“Jauh,” balas Jimmy. “Harus naik pesawat.”

“Ya, makanya,” Papa mengangguk. “Sekalian liburan.”

Jimmy menggeleng. “Mama nggak mungkin pulang ke rumah orangtuanya,” kata Jimmy. “Mama nggak akur dengan orangtuanya. Belum pernah kejadian Mama pulang ke rumah orangtuanya tanpa kita.”

Lihat selengkapnya