Ruri dan Enna sudah tahu kalau mamaku hilang. Sepertinya orang-orang yang tinggal di perumahan tempatku tinggal sudah tahu tentang kabar itu. Om Pak Erte sampai mengingatkan tetangga-tetangga untuk tidak mempermasalahkan apa yang sedang terjadi. Kata Om Pak Erte, belum ada bukti bahwa rumahku bermasalah dan papaku bukan penyebab hilangnya mamaku. Yang dikatakan Om Pak Erte benar. Untunglah dia tidak protes-protes dan ribut-ribut seperti tetangga lain.
Pak Polisi Ricard dan teman-teman polisinya yang telah selesai menggeledah rumahku tapi tidak menemukan mamaku akhirnya membawa papaku ke kantor polisi untuk dimintai keterangan—itu yang dikatakan Mami Wina saat aku tanya-tanya. Sore harinya papaku sudah kembali ke rumah. Papaku dinyatakan tidak bersalah makanya disuruh pulang saja, begitu kata Papi Daniel. Syukurlah.
Menjelang petang, Enna dan Ruri mengajakku ke gereja untuk melapor ke Pastor Geni tentang hilangnya mamaku. Kata Enna dan Ruri, sebaiknya aku minta doa pada Pastor Geni agar mamaku yang hilang segera pulang ke rumah. Jadi, aku setuju. Aku kayuh sepedaku menuju gereja dekat perumahan kami. Enna dan Ruri menemaniku dengan sepeda masing-masing. Aku membawa tabletku. Aku ingin memberitahu Pastor Geni desain rumah yang aku buat. Aku ingin Pastor Geni juga mendoakan agar keinginanku memiliki rumah sendiri segera terwujud.
Untunglah Pastor Geni berada di gereja saat kami sampai. Sambil duduk di bangku ibadah ditemani Enna dan Ruri, aku bercerita pada Pastor Geni tentang mamaku yang hilang setelah bertengkar dengan papaku. Aku juga menceritakan tentang rumahku yang diperiksa polisi, dan papa yang dibawa polisi tapi sudah kembali ke rumah. Aku juga cerita tentang Jimmy dan teman-temannya.
“Anakku...” Pastor Geni mengusap-usap kepalaku dengan lembut. Suarnya sendu pun tatapan matanya. “Malang sekali nasibmu,” katanya.
Aku tiba-tiba menjadi sedih karena dianggap anak yang malang.
“Saat ini kamu tinggal di rumah Wina dan Daniel?” tanyanya.
“Ya,” jawabku. “Mereka sudah menganggap kami anak.”
“Kamu makan dan tidur dengan baik?” tanya Pastor Geni. Aku mengangguk. “Kalau begitu, mari kita berdoa bersama agar mamamu cepat ditemukan,” katanya. Aku mengangguk lagi. “Kita doakan juga agar rumah impianmu segera terwujud.” Lagi, aku mengangguk. Lalu, aku mengepalkan dua tanganku di depan wajah. Aku pejamkan mata. Aku berdoa untuk Mama, Papa, dan Jimmy, serta rumahku.
***
Mami Wina tidak sedang di rumah. Sejak pagi dia pergi ke kantor karena ada urusan pekerjaan yang perlu dia selesaikan. Papi Daniel juga sudah berangkat kerja sejak pagi. Aku tinggal berdua saja dengan Jimmy. Jimmy main gim sejak pagi. Aku menggambar saja. Sepertinya aku ketiduran saat berlatih menggambar karena tiba-tiba Jimmy membangunkanku menjelang siang.
“Julie...” dia mengguncang-guncang bahuku. Aku membuka mata. Aku lihat Jimmy sedikit panik dan terburu-buru. “Ayo, bangun cepat!” suruhnya.
Jadi, aku pun bangun. Aku mengucek mata sambil bertanya, “Ada apa sih?”
“Ini pena perekammu!” Jimmy mengacungkan pulpen perekamku yang dulu hilang. Aku membelalak. Mulutku menganga. Kok bisa ada pada Jimmy?
“Lho? Ketemu di mana?” tanyaku. Aku meraih pulpen perekam tersebut, tapi Jimmy malah menjauhkannya dariku. Aku memberengut. Itu kan punyaku!
“Ini ada di perut Garfield!” kata Jimmy.
“Hah?!” Aku melongo sebentar. “Di perut bonekaku?”
Jimmy mengangguk. “Ada suara Mama di dalamnya.”
“Hah?!” Mulutku menganga lebih lebar. Aku belum bisa mempercayai yang kudengar barusan. “Suara Mama? Maksudnya?” tanyaku. Aku menjadi bingung. Mengapa ada suara Mama di dalam pulpen perekam itu? Siapa yang merekam? Apa Mama sendiri yang melakukannya? Aku butuh penjelasan.
“Aku harus menyerahkan ini ke Pak Polisi Ricard,” kata Jimmy. “Kamu di sini aja ya sampai Mami Wina atau Papi Daniel pulang. Kunci pintu. Jangan pernah buka pintu apa pun yang terjadi. Paham?”
Aku masih tidak mengerti apa yang terjadi. “Aku mau dengar suara Mama,” pintaku sambil menunjuk pena perekam itu. “Apa kata Mama?” Aku ingin tahu.
Jimmy memutar ujung kepala pulpen dan sebuah suara pun terdengar. Benar-benar suara Mama. Mama menyapa aku dan Jimmy. Seperti ini katanya: Anak-anakku tersayang, Jimmy dan Julie. Mama merekam ini untuk berjaga-jaga saja jika terjadi sesuatu pada Mama nanti. Karena besok malam Mama berencana membongkar perselingkuhan papamu. Mama akan pergi ke rumah Si Jalang itu dan melabrak papamu yang sering menginap di sana dengan alasan lembur. Kalau kalian mendengar rekaman ini berarti mama tidak pulang ke rumah untuk menghapus rekaman ini. Mama takut jika saat melabrak perselingkuhan papamu nanti di rumah Si Jalang itu, Mama takut Mama kenapa-napa. Semisal Mama terluka, atau pingsan, dan yah semacam itu. Mama tidak akan bercerai dengan Papa, kalian tenang saja. Mama akan mempertahankan rumah tangga Mama apa pun yang terjadi. Mama tidak suka kekalahan. Mama akan membawa Papa kembali pada kita. Mama sayang kalian.
Aku menelan ludah. Aku bengong sesaat.
“Sudah dengar kan?” tanya Jimmy. Aku masih diam, sulit bagiku memahami semua yang kudengar barusan.
Jimmy mengambil HP-nya dan memasukkan ke saku celananya. “Aku mau minta Pak Polisi Ricard menggeledah rumah selingkuhan Papa. Mama kita pasti ada di sana malam itu. Mungkin saja selingkuhan Papa tahu keberadaan Mama.” Jimmy memasukkan pena perekamku ke perut Garfield. “Aku bawa dulu bonekamu, ya.”
“Tapi...” kataku, teringat sesuatu yang cukup mengganggu. “Mama kan nggak meninggalkan rumah kita malam itu. Mama nggak ke mana-mana,” kataku, bingung. “Abang sendiri dengar kan Pak Polisi Ricard bilang begitu.”
“Ya, sih,” Jimmy manggut-manggut. Dia diam sebentar. Dia kayaknya berpikir keras. Otot-otot keningnya berkerut-kerut. “Mama bersama kita seharian. Papa juga bersama kita. Lalu, malamnya mereka ribut dan paginya mama sudah hilang.”
“Mungkin rekamannya sudah lama,” tebakku.
“Cerdas!” Jimmy menjentikkan jari. Matanya membola. Mulutnya menganga. “Mungkin mama memang pernah ke rumah selingkuhan papa lalu melabrak papa. Makanya, mereka bertengkar di rumah setelahnya. Mama nggak sempat menghapus rekaman ini mungkin lupa karena sudah kadung marah.” Dia menepuk-nepuk perut Garfield. “Pokoknya aku harus memberitahu Pak Polisi Ricard semua ini.”
Aku masih tidak mengerti, tapi aku mengangguk saja.
“Kamu di sini aja, ya,” kata Jimmy. “Kunci pintu. Jangan ke mana-mana.”
Karena Jimmy yang suruh, aku pun menurut.