RUMAH TANPA RUANG

Lia Seplia
Chapter #18

18: Patung Duyung

Aku pergi dengan Mami Wina dan Papi Daniel ke rumah Si Vino. Pak Polisi Ricard sudah menunggu bersama Jimmy di dalam sebuah mobil saat kami sampai. Aku lihat Jimmy membawa ransel di punggungnya, tapi isinya tidak gemuk.

Bersama-sama kami memasuki rumah itu. Pagarnya terbuka saja. Para tukang bangunan sedang bekerja memperbaiki kolam ikan patung duyung. Pak Polisi Ricard malah mengajak para tukang bangunan mengobrol. Aku dan Jimmy bersama Papi Daniel dan Mami Wina mengetuk pintu rumah itu.

“Selamat pagi!” Mami Wina mengeraskan suara. Matanya mencari-cari sesuatu di sekitar pintu. “Nggak pakai bel? Seingatku ada deh.”

“Belum dibuat mungkin,” balas Papi Daniel.

Lalu, pintu rumah itu berayun terbuka. Perempuan Kurus Berambut Pirang menampakkan diri. Dia memakai daster. Rambutnya digulung tinggi. Dia tampak belum mandi. Dia mengamati Mami Wina dan tersenyum. “Oh, ada Bu Wina.” Dia kemudian memandangiku, Jimmy, dan Papi Daniel. “Ini... ada perlu apa, ya?”

“Saya mengganggu Anda pagi-pagi, maaf, ya,” kata Mami Wina.

“Ya.” Perempuan Kurus Berambut Pirang mengangguk. “Mari silakan masuk dulu. Saya buatkan sesuatu. Teh atau kopi?”

Lalu, aku mendengar teriakan Pak Polisi Ricard. “Pagi, Pak Johan!”

Segera saja aku balik badan. Mami Wina dan Papi Daniel serta Jimmy juga melakukan hal yang sama. Aku melihat Papa menyalami Pak Polisi Ricard sembari sedikit membungkuk. Kemudian, pandangan kami bertemu.

“Lho? Kalian?” Papa menunjuk ke arah kami dan terperangah. “Ngapain kalian bawa anakku pagi-pagi ke sini?” Papa rupanya bertanya pada Papi Daniel dan Mami Wina. Papa melangkah cepat menghampiri kami.

“Anakmu?” Perempuan Kurus Berambut Pirang bertanya.

Mami Wina membalas, “Johan nggak bilang istrinya hilang?” tanyanya.

“Hah?!” Perempuan Kurus Berambut Pirang menganga. “Hilang gimana?”

“Untuk apa aku kasih tahu orang lain masalah rumah tanggaku?” balas Papa. “Wina, jujur saja ya, kamu sudah mulai keterlaluan. Meskipun kamu bosku, kamu nggak bisa ikut campur urusan pribadiku.”

“Ini bukan urusan pribadi lagi,” balas Mami Wina, seakan menantang. “Kasus hilangnya istrimu sudah ditangani polisi. Nggak bisa kamu menganggap ini cuma masalah rumah tangga. Kamu nggak ada hak melarang saya ikut campur.”

Jimmy tiba-tiba bertanya pada Perempuan Kurus Berambut Pirang. “Tante,” katanya, “apa mamaku pernah ke sini?”

“Hah?” Perempuan Kurus Berambut Pirang tercengang. “Saya bahkan nggak tahu wajah mamamu kayak apa.”

“Mamaku bilangnya mau ke sini,” beritahu Jimmy. “Dia meninggalkan pesan.”

“Pesan?” Papa bertanya, seperti kebingungan. “Pesan apa?”

“Ada deh,” balas Jimmy, menggeleng.

“Jimmy jangan mengada-ada,” kata Papa.

Papi Daniel menyela, “Anakmu nggak bohong,” katanya.

“Ada bukti tulisan?” tanya Papa.

“Bukti suara,” balas Papi Daniel.

Perempuan Kurus Berambut Pirang bertanya, “Bisa kalian jelaskan ada apa ini?” katanya. “Saya nggak mengerti apa yang terjadi sekarang?”

Papa yang jawab, “Istriku pergi dari rumah dan belum pulang-pulang. Anak-anakku melaporkanku ke polisi sebagai tersangka. Rumahku digeledah dan aku diinterogasi. Sepertinya istriku meninggalkan pesan suara, bilangnya mau ke sini. Maaf, ya. Aku merepotkan lebih banyak orang.”

“Jadi kalian ke sini hanya untuk memastikan apa istri Johan pernah ke sini atau nggak?” tanya Perempuan Kurus Berambut Pirang.

Mami Wina mengangguk. “Jangan tersinggung. Kami hanya tanya-tanya saja. Anak-anak sudah mulai hilang kesabaran karena mamanya nggak pulang-pulang.”

Lihat selengkapnya