RUMAH TANPA RUANG

Lia Seplia
Chapter #19

19: Saksi dan Bukti

Aku memacu sepeda menuju gereja dekat perumahan seorang diri. Aku ngebut sepanjang jalan. Untung saja tidak ada kendaraan yang menghambatku sehingga aku tiba di tujuan dengan cepat tanpa terluka. Aku menjatuhkan sepeda di halaman depan gereja, di samping tanda salib. Aku berlari mencari Pastor Geni.

“Bapaaa!!!” aku berteriak sembari terus berlari memasuki gereja. Langkahku menapak begitu keras saking heningnya tempat itu. Tidak ada jemaat—benar-benar tidak ada. Bangku-bangku kosong. “Bapaaa!!!” Aku memanggil-manggil.

“Anakku. Di sini, Nak.” Pastor Geni akhirnya menjawab panggilanku. Dia sedang berdoa. Aku mengganggunya, tetapi dia segera berbalik menemuiku.

Aku lekas menghampirinya.

“Ada apa?” tanya Pastor Geni.

Tangisku tumpah. “Mamaku meninggal.” Aku pun merosot ke lantai. Aku mengusap-ngusap airmataku yang terus saja berjatuhan. “Mama dikubur di bawah kolam patung duyung,” beritahuku, terisak-isak. “Mama nggak suka patung duyung.” Aku mengadu padanya. “Mama sudah dipindahkan ke rumah sakit.”

Tangan Pastor Geni mengusap kepalaku dengan lembut. “Mau berdoa untuk mamamu?” tanyanya. Aku mengangguk.

Pastor Geni menuntunku bersimpuh dan mengepalkan tangan di bawah dagu. Aku hapus lagi airmataku. Aku telan tangisku. Aku pejamkan mataku. Aku berdoa kepada Tuhan Yesus dan Bunda Maria agar Mama hidup kembali. Dokter-dokter di rumah sakit pasti bisa menyelamatkan Mama. Aku sangat ingin Mama hidup lagi.

 

***

 

Malam sudah menggantikan sore ketika aku akhirnya meninggalkan gereja. Jalanan agak gelap, tapi tidak terlalu ramai. Udara mulai dingin. Aku mengayuh sepeda menuju rumah Mami Wina kembali. Tidak seperti saat pergi, aku bersepeda dengan lambat saat pulang. Lampu-lampu jalan membentuk garis-garis cahaya. Pandanganku sedikit kabur gara-gara mataku membengkak usai menangis lama.

Angin begitu kuat mendorong tubuhku. Gigi-gigiku bergemeletuk. Pakaianku seperti meronta-ronta hendak lepas. Kemudian, sesuatu menimpaku. Berlangsung hanya dalam tiga detik.

Pada detik pertama, aku mengambil jalan tengah untuk menghindari mobil yang parkir sembarangan di bahu kiri jalan. Aku tidak sempat melihat sebuah motor melaju dari arah berlawanan. Detik kedua, baru aku melihat motor itu. Motor itu besar. Klaksonnya berbunyi memintaku menyingkir. Aku terbelalak. Jantungku melompat keras. Aku mengembalikan arah setang ke kiri. Ban sepedaku berdecit. Detik ketiga, sepedaku oleng bersamaan dengan tubuhku. Aku gagal menahan keseimbangan. Aku dan sepedaku ambruk bersamaan. Sikuku membentur kerasnya aspal. Untung saja lengan kiriku mampu menahan tubuhku sehingga kepalaku tidak terluka. Aku menoleh memandangi kepergian motor besar itu. Pengendaranya tidak acuh, minta maaf pun tidak.

Untuk beberapa detik, aku terduduk saja di aspal, belum cukup kuat untuk berdiri. Aku meraba siku kiriku: kulitku sedikit mengelupas. Cairan merah kental keluar dari luka itu. Darahku. Rasanya sakit. Berdenyut-denyut. Betis kiriku tergores, memarnya memanjang ke lutut, tapi tidak mengeluarkan darah.

Tiba-tiba ada sepasang tangan meraih tanganku dan membantuku berdiri. Tangan itu terlalu putih karena memancarkan cahaya. Sentuhannya serasa milik Mama: lembut dan erat. Aku berusaha berdiri meskipun kaki dan tanganku masih agak sakit. Aku pun mendongak. Aku ingin berterima kasih kepada sosok yang menolongku itu. Tetapi, tidak kutemukan siapa-siapa. Aku sendirian saja di jalanan. Aneh. Aku yakin seseorang baru saja membantuku berdiri tadi.

Aku amati lagi sekelilingku: kanan-kiri, depan, belakang. Tidak ada orang yang lewat atau datang. Hanya aku. Ya, sudahlah. Aku kayuh kembali sepedaku.

 

***

 

Sesampai di rumah Mami Wina, aku mencari Jimmy. Saudaraku itu ternyata sedang mengamuk sambil menangis di kamar mandi. Aku bahkan belum sempat mengabarkan ke Mami Wina bahwa siku dan kakiku terluka karena terjatuh dari sepeda. Melihat Jimmy melukai dirinya sendiri, rasa sakit di tubuhku menjadi tidak terasa lagi. Aku lihat Papi Daniel berusaha keras menenangkan Jimmy yang terus saja membenturkan diri pada apa pun. Kakinya menendang-nendang ember. Tangannya menonjok dinding kamar mandi. Dia berteriak, meronta, menangis.

Pakaian Jimmy kuyup semua. Sudah tidak bisa dibedakan lagi mana airmata dan air keran yang membasahi Jimmy. Aku lihat pancuran air di dinding kamar mandi menyala. Papi Daniel bahkan tidak sempat mematikan pancuran itu.

“Hentikan, Jimmy!” Mami Wina berteriak. Baru kusadari dia menangis. “Jangan lukai dirimu. Semua yang terjadi bukan salahmu!”

Jimmy ternyata sangat kuat. Dia bisa melepaskan diri dari jerat lengan Papi Daniel. Dia meninju pintu. Dia menendang ember. Dia menabrakkan diri ke dinding. Semua itu dia lakukan sambil menangis dan menjerit. Papi Daniel terus mencoba menghentikan Jimmy. Sementara itu, Jimmy balas mendorong Papi Daniel menjauh. Jimmy bahkan mencoba melangkahi bak air yang setinggi pinggangnya. Papi Daniel menarik Jimmy turun. Jimmy berteriak. Meronta-ronta. Menangis keras.

Rasanya ada yang meremas jantungku. Seperti ada yang mengambil udara dari paru-paruku. Dingin sekali. Sekujur tubuhku seakan-akan bermandikan es. Aku gemetaran. Aku mengepalkan dua tangan erat-erat. Kakiku melemas. Cahaya di mataku berkurang. Pandanganku menjadi buram. Aku memegangi dada kiriku, nyaris meremasnya karena terlalu sakit. Keringat dinginku bercucuran seperti air pancuran. Napasku amat sesak. Aku limbung dan terjatuh. Yang aku ketahui sisanya hanyalah dingin dan kerasnya marmer, serta teriakan Mami Wina. “Julieee...!”

Sebab setelah itu, semua menjadi gelap.

 

***

 

Saat terbangun, aku masih di rumah Mami Wina. Berbaring di tempat tidur. Selimut menghangatkan tubuhku. Aku refleks meraba siku kiriku. Ternyata lukaku sudah diperban. Aku lihat pula kaki kiriku. Memarnya sudah diobati. Syukurlah.

“Julie...” Suara Jimmy. Aku menengok ke pintu.

“Mami, Papi!” Jimmy berteriak ke arah luar. “Julie sudah sadar.”

Jimmy tergesa menghampiriku. Dia duduk di tepi tempat tidur menghadapku. “Kamu baik-baik saja?” tanyanya. Suaranya terdengar cemas. “Maafkan aku.”

“Abang salah apa?” tanyaku. Aku duduk. Punggungku bersandar ke kepala ranjang. Mami Wina dan Papi Daniel datang. Jimmy tidak menjawab.

Mami Wina buru-buru menaruh telapak tangannya ke kening, leher, dan dadaku. Lalu, dia mengembuskan napas lega. “Demamnya sudah turun.”

“Aku demam?” tanyaku, heran.

“Kamu terjatuh di mana?” Papi Daniel melirik luka-lukaku.

“Di jalan,” jawabku. “Jatuh dari sepeda.”

Lihat selengkapnya