Aku berdiri di tengah sebuah lahan berumput yang asri dan hijau. Tidak hanya aku. Ada Mami Wina, Papi Daniel, dan Jimmy juga. Pak Polisi Ricard juga datang bersama para pelayat yang tak kukenal (sepertinya sih teman-teman Mama sesama perawat). Di antara kumpulan perdu dan flamboyan yang berbunga, pemakaman Mama dilangsungkan di tanah pemakaman keluarga Mami Wina. Keluarga asli Mama jauh, tidak bisa datang karena tiket pesawat mahal, dan mereka tidak punya uang untuk mengurus pemakaman, begitu yang aku dengar.
Aku memang terang-terangan menguping pembicaraan Mami Wina dan Papi Daniel serta Jimmy dan Pak Polisi Ricard di ruang tamu rumah Mami Wina. Keluarga Mama sepertinya tidak peduli pada Mama. Aneh sekali. Mami Wina bukan keluarga Mama, tapi mau-mau saja mengurus pemakaman Mama. Tidak apalah. Aku lebih suka Mami Wina yang mengurus jasad Mama daripada keluarga Mama yang bahkan tidak aku kenal. Aku hanya tahu nama dan fotonya saja, itu pun lupa-lupa ingat. Mungkin karena mereka tidak penting untukku sehingga otakku melupakannya.
Langit di atasku lembayung, seperti mengantar kepergian matahari dengan sendu. Perasaanku juga sama lembayungnya. Sendu aku karena harus mengantar kepergian Mama untuk selama-lamanya. Udara di sekitarku bergerak perlahan, mengusik daun-daun serta menimbulkan bisik samar. Sama halnya dengan orang-orang di sekitarku yang meskipun berduka di pemakaman, mulut mereka berbisik-bisik yang entah membicarakan apa. Aku rasa pasti mereka membicarakan Mama.
Saat ini aku dan Jimmy tengah menghadap makam Mama yang masih baru. Nisan yang tertanam di makam itu berbentuk batu berbintik warna abu-abu, bentuknya kotak pipih, dan berukir tanda salib serta sebuah nama. Orin.
Mama.
Aku memanggil mama di dalam hati dan di dalam kepalaku. Kemudian aku merasakan sesak. Seolah ada yang merenggut udara dari paru-paruku sehingga aku kesulitan bernapas. Bayang-bayang sosok Mama yang pucat, diam bak patung dalam gulungan karpet biru, terkubur di tanah kolam rumah berpatung duyung, masih melintasi pikiranku. Aku merasa menyesal karena tidak bisa menyelamatkan Mama. Harusnya malam itu aku bangun dan keluar kamar lalu mengambil gelas dan memukul Papa dengan gelas. Aku bisa saja keluar rumah lalu membangunkan Papi Daniel dan Mami Wina untuk meminta bantuan. Agar Mama tetap hidup. Agar Mama masih bersamaku sekarang. Penyesalan-penyesalan yang semakin lama semakin menyakitkan untuk aku ingat-ingat. Gambaran-gambaran kejadian buruk yang terus saja mengisi lamunku. Aku tidak tahu cara menghapusnya.
Aku dan Jimmy masing-masing menaruh satu buket mawar putih dan lili dalam keranjang rotan yang kami bawa. Lalu, kami bersimpuh di tanah. Kami membelai batu nisan layaknya membelai kepala dan bahu mama. Langkah-langkah kaki para pelayat terdengar menjauhi pemakaman Mama satu per satu. Tersisalah kami berlima: Aku dan Jimmy, Papi Daniel dan Mami Wina, serta Pak Polisi Ricard.
Aku dan Jimmy berdoa dalam hening. Aku memohon kepada Tuhan agar mama bahagia dan ditempatkan di surga. Agar mama tidak sedih dan tidak sakit lagi. Agar mama bisa bersantai, tidak perlu lagi bekerja dan marah-marah. Aku katakan aku sayang mama di dalam hatiku. Semoga mama dengar. Semoga mama tahu.
Udara di sekitarku berubah dingin. Langit mulai gelap. Aku dan Jimmy harus pulang. Kami bisa mengunjungi makam mama kapan pun kami mau, begitu kata Mami Wina dan Papi Daniel saat membujuk kami pulang.
Dan kami memang harus pulang.
***
Air merintik deras dari pancuran di langit-langit kamar mandi rumah Mami Wina. Butir-butir bening dingin membasahi tubuhku yang meringkuk di dasar bilik kaca. Di antara gemerencik air, isak tangis menyelinap keluar dari bibirku yang bergetar. Aku mendekap erat lutut. Jari-jari tanganku membenamkan kuku. Kepalaku merunduk. Napasku tidak teratur. Bahuku berguncang. Pikiranku dikuasai bayang-bayang tentang Mama. Aku masih berharap semua ini mimpi.
“Julie....”
Suara Mami Wina. Aku mendengarnya.
“Pakai handukmu.”
Aku masih bergeming.
“Julie.... jangan lama-lama mandi. Nanti masuk angin.”
Aku masih belum mau bergerak.