RUMAH TANPA RUANG

Lia Seplia
Chapter #22

22: Bangkit Kembali

Mami Wina rapat daring menggunakan Zoom komputer di perpustakaan rumah. Papi Daniel ke kantor sejak pagi. Rumah hening sekali. Aku yang sejak tadi berlatih menggambar di tablet pun akhirnya bosan sendiri. Aku putuskan melihat-lihat kondisi Jimmy saja. Aku ingin tahu keadaannya. Namun, sesampai di depan pintu kamar langkahku mendadak terpaku. Keberanianku menciut.

Aku menjadi bimbang, apakah sudah tidak apa-apa mengunjungi Jimmy mengingat kondisi Jimmy terakhir kalinya. Jadi, aku duduk memeluk lutut di lantai di depan pintu kamar sambil menimbang-nimbang: masuk, tidak, masuk, tidak.

Setelah beberapa menit berlalu (yang entah mengapa terasa sangat lama), aku raih juga gagang pintu itu. Suara kayu yang bersanggit terdengar cukup keras di kesunyian rumah. Aku melangkah dengan hati-hati, pelan-pelan sekali, sebisa mungkin tidak membangunkan Jimmy.

Jimmy masih berbaring di tempat tidur. Kedua matanya tertutup. Aku bisa melihat cekungan hitam di bawah matanya. Entah sebab kurang tidur, lelah, atau tangisan, aku kurang tahu. Wajahnya sedikit pucat dibandingkan terakhir kali aku melihatnya. Aku menoleh memandangi nakas samping tempat tidur. Sebelumnya, aku menaruh semangkuk bubur dan segelas air di sana. Kini, mangkuk bubur itu kosong. Sendok mangkuk tertelungkup di bibir gelas yang juga sudah kosong.

Aku mengulum senyum. Napasku mengembus lega. Aku bahkan tidak sadar telah menahan napas sejak tadi. Menyadari Jimmy sudah makan saja membuatku senang. Dengan pelan-pelan aku tutup pintu kembali. Untuk beberapa saat aku mematung dalam kesunyian di depan pintu. Aku coba menajamkan pendengaran. Tidak terdengar suara apa pun dari dalam kamar. Jadi kurasa aku tidak membangunkan Jimmy. Syukurlah. Aku balik badan dan berlari menuju dapur.

Aku mengambil nampan dan meletakkannya di meja. Aku letakkan piring kosong di nampan itu. Aku membuka kulkas dan melihat-lihat yang bisa dimakan. Ada keik tiramisu di kulkas, sudah dipotong-potong, menyisakan empat bagian. Aku keluarkan kue itu beserta tadahnya, lalu aku taruh ke meja. Dengan menggunakan penjepit, aku ambil sepotong keik tiramisu dan aku letakkan ke piring. Pekerjaanku sangat berantakan sehingga banyak krim berlepotan di penjepit, di piring, dan di tanganku. Tidak apalah, yang penting keiknya masih utuh.

Aku mencuci tangan di wastafel agar krim-krim kue di tanganku hilang. Agar tanganku bersih kembali. Setelah itu, aku mengambil sebutir apel di keranjang buah dan meletakkannya di nampan. Aku juga mengambil sendok logam dan beberapa helai tisu dan menaruhnya di nampan. Nampannya jadi penuh. Aku pikir sudah cukup. Aku mengambil sebotol air dingin dari kulkas dan menjepitnya ke ketiak. Dengan dua tanganku, aku bawa nampan yang penuh makanan itu. Dengan diam-diam, aku kembali menghampiri Jimmy ke dalam kamar.

Masalahnya, pintu kamar itu tertutup rapat. Jadi, aku perlu menaruh nampan ke lantai beserta botol minum. Lalu, aku membuka pintu dengan hati-hati, sebisa mungkin tidak menimbulkan bunyi. Setelah itu, aku menjepit kembali botol minum ke ketiak dan mengangkat nampan. Aku masuk ke kamar itu lagi.

Untunglah Jimmy masih tidur.

Aku menaruh nampan ke nakas dengan pelan beserta botol minum. Aku ambil mangkuk dan gelas yang sudah kosong. Kemudian, aku keluar kamar. Karena dua tanganku penuh, aku jadi tidak bisa menutup pintu. Jadi, aku harus mengulangi apa yang aku lakukan tadi. Aku menaruh mangkuk kosong beserta gelas ke lantai lalu menutup pintu. Merepotkan banget, tetapi demi Jimmy aku mau-mau saja. Setelah pintu menutup, aku kembali mengambil mangkuk dan gelas. Aku menaruh alat-alat makan yang sudah kotor itu ke bak cuci piring dapur.

Aku kembali ke ruang tengah dan berlatih menggambar. Sesekali aku menguap karena bosan dan mengantuk.

 

***

 

Sepertinya aku sempat tertidur karena ketika bangun hari sudah malam saja. Jadi, aku ke perpustakaan dan menemui Mami Wina. Aku berniat mengajaknya menyiapkan makan malam bersama. Namun, aku melihat Papi Daniel ada di sana juga, tengah berbicara dengan Mami Wina. Mereka membahas rumah baru.

“Kita bisa pindah setelah Jimmy agak baikan,” kata Mami Wina.

“Kita juga harus segera mengosongkan rumahnya,” kata Papi Daniel. “Penyewa baru akan menempati rumah itu.”

Hanya itu yang aku bisa dengan jelas karena sisanya kabur. Aku putuskan ke dapur saja. Aku haus. Aku perlu minum air dingin.

Setiba di dapur, tatapanku terpaku ke bak cuci. Tak bisa aku jelaskan betapa gembiranya aku ketika menemukan nampan penuh makanan yang kubawa tadi kini ada di bak cuci dalam keadaan kosong. Isi piring tandas, di dasarnya ada sendok logam yang ujungnya berlumur krim. Aku tidak menemukan bekas potongan apel, mungkin habis dimakan Jimmy. Air di botol minum masih sisa setengah. Semua itu setidaknya menjawab kekhawatiranku. Jimmy pasti sudah agak lebih baik sekarang. Dia bisa makan, dan cukup kuat bangun dari tempat tidur. Dia keluar kamar untuk meletakkan alat-alat makan di bak cuci dapur. Itu sangat melegakan.

Aku mengambil air dingin di kulkas lalu minum. Aku mendengar sepasang langkah gontai mendekati dapur. Aku tutup kulkas kembali.

Jimmy berdiri di ambang dapur, menatapku dalam diam. Entah mengapa aku sedikit cemas, dan yang bisa aku lakukan hanya menyengir kaku.

“Julie...” panggilnya. Suaranya agak serak dan berat. Tidak hanya itu, mukanya kuyu dan bahunya lesu. Rambutnya kayak landak, mencuat ke segala arah.

“Ya?” jawabku. “Abang mau kue lagi nggak?”

Jimmy menggeleng. Dia berjalan menghampiri meja lalu duduk di kursi. Dia menatapku dan bicara kembali. “Kamu sudah makan?” tanyanya.

“Makan siang sih sudah,” jawabku. “Makan malam belum.”

“Mau makan bersama?” tanyanya.

Aku mengangguk saat kudengar dua langkah kaki mendekati dapur. Mami Wina dan Papi Daniel yang datang bersama langsung terperangah memandangi Jimmy. Mereka tampaknya terkejut, seakan tidak percaya Jimmy sudah keluar dari kamar. Aku buru-buru berdiri di dekat Jimmy.

“Jimmy sudah makan kok tadi,” aku melapor. “Sekarang mau makan lagi.”

Papi Daniel berjongkok di hadapan Jimmy. “Kamu sudah baikan?” tanyanya.

“Aku baik-baik saja,” balas Jimmy.

Lalu, hening sebentar.

“Oh, ya, Jim. Ada yang mau papi sampaikan. Ini agak mendesak,” kata Papi Daniel. “Rumah ini dijual dan kita harus pindah,” jelasnya. Suaranya rendah dan datar dan tenang. “Kami sudah membeli rumah baru. Kamu dan Julie akan dapat kamar sendiri. Besok, kita ambil barang-barangmu di rumah lamamu. Ya?”

Jimmy manggut singkat. “Aku ikut saja,” katanya. “Aku nggak punya siapa-siapa lagi. Aku nggak mau ikut nenek. Dia sudah tua untuk mengurus kami.”

Mami Wina ikut berjongkok di hadapan kami. “Kami-lah sekarang orangtua kalian,” katanya, dengan lembut dan tenang. “Memang bukan kami yang melahirkan kalian, tapi mulai hari ini... kami yang membesarkan kalian.”

Jimmy bicara lagi. “Mami dan Papi mengadopsi kami?”

Lihat selengkapnya