Rumah Teteh

Mizan Publishing
Chapter #2

SATU

“Brii, Brii ...!” Panggilan disertai ketukan pintu yang membangunkanku dari tidur siang.

Masih jam empat. Kan, janjinya juga setelah maghrib, gumamku dalam hati. Saat itu, aku memang berjanji dengan Nando untuk melihat rumah indekos baru yang letaknya di daerah sekitar Jalan Cikutra.

Tahun terakhir masa kuliah, aku cukup akrab dengan empat orang kawan–Asep, Nando, Doni, dan Irwan. Mereka berasal dari luar Pulau Jawa, kecuali Asep.

Aku Brii, lahir dan besar di Cilegon, Banten. Kota kecil yang letaknya paling barat Pulau Jawa. Aku berasal dari keluarga yang berkecukupan, walaupun tidak terlalu kaya. Aku hanya dua bersaudara dan memiliki satu kakak perempuan.

Sebagai anak laki-laki satu-satunya, Bapak dan Ibu sebenarnya cukup berat melepasku ketika kuputuskan untuk kuliah di Bandung. Banyak wejangan yang mereka berikan saat akhirnya kujalani hidupku sendiri. Apalagi, Bapak, beliau banyak menyampaikan “kata-kata mutiara” yang aku ingat sampai sekarang.

“Orang lain boleh berbuat jahat terhadap kita, tapi kita jangan pernah berbuat jahat terhadap orang lain.”

“Jadi laki-laki itu harus berani menghadapi apa pun. Tapi, kalau memang terpaksa harus lari, larilah yang kencang.”

Dua dari banyak nasihat Bapak yang masih kupegang sampai sekarang.

Aku diterima di sebuah Perguruan Tinggi Negeri yang saat itu kampusnya masih berada di Jalan Dipati Ukur. Sebelum masa kuliah, hanya beberapa kali aku menginjakkan kaki di Bandung. Jadi, pada awal kuliah aku harus berjuang keras beradaptasi, juga mencari pertemanan yang baik. Di Bandung, aku dititipkan kepada saudara dari pihak Ibu yang kebetulan memiliki penyewaan kamar indekos.

Indekosku itu terletak di Jalan Ciumbuleuit yang letaknya persis di depan kampus Universitas Parahyangan. Kemudian, hampir selama empat tahun, aku tinggal di sana. Bandung sekitar tahun 2004 masih sangat dingin. Aku ingat, ketika berangkat kuliah dengan berjalan kaki dari Ciumbuleuit ke Dipati Ukur, suasananya masih berkabut tebal menyelimuti sudut kota.

Aku menyukai suasana Kota Bandung dengan masih banyak bangunan berarsitektur Belanda sehingga suasana klasik terasa kental. Awal-awal kuliah, aku banyak menghabiskan waktu untuk eksplorasi ke setiap sudut kota dengan menggunakan angkutan umum ataupun hanya berjalan kaki. Seiring waktu berjalan, aku berhasil mempunyai teman yang cukup banyak membantu untuk beradaptasi dan perkuliahan.

Aku sangat menyukai segala hal tentang Bandung.

Aku satu kampus dengan Asep dan Irwan, sementara Nando dan Doni berbeda kampus. Asep yang memperkenalkan mereka kepadaku dan Irwan. Empat teman inilah yang seiring sejalan bersamaku dan kami merasa cocok dalam banyak hal. Ketika kami semakin akrab, muncul ide agar kami tinggal di tempat indekos yang sama, sepertinya akan lebih menyenangkan. Kemudian, dari informasi Rudi, seorang teman kampusku, ada rumah yang akan disewakan per kamar dan terletak persis di hadapan tempat tinggalnya.

Rumahnya cukup besar dan kosong cukup lama sehingga tidak terawat. Akhirnya, rumah itu dibeli oleh satu keluarga yang berasal dari Sumatra.

Rumah besar ini dibeli untuk tempat tinggal dua anak perempuan keluarga tersebut yang berkuliah di Bandung. Tapi, dengan ukurannya yang cukup besar, keluarga itu memutuskan untuk menjadikan kamar kosong sebagai kamar indekos. Setelah dibeli, rumah tersebut langsung diperbaiki tanpa mengubah struktur bangunan asli.

Lihat selengkapnya