RUMAH UNTUK BAPAK

SISWANTI PUTRI
Chapter #1

1

Siapa bilang orang tua tak bisa durhaka pada anak?

Bagaimana caranya menjelaskan pada orang tua tak bertanggung jawab diluaran sana kalau mereka pun bisa durhaka pada anak. Menelantarkan anak adalah kezoliman, dan kezoliman itu sendiri adalah bentuk kedurhakaan pada anak. Lantas, hanya karena seorang bapak lebih tua maka seorang anak malah dituntut untuk memaklumi! Sedangkan saat anak yang berbuat durhaka maka dia langsung dipandang hina.

Untung saja Tuhan lebih adil, pandangan Tuhan tak seperti pandangan manusia yang selalu ingin menang sendiri. Lalu, bagaimana caranya jika orang yang sudah berbuat zolim, durhaka pada anak menebus semua kesalahannya?

***

"Saya balikin bapak gak bergunamu, kamu bisa mengambilnya. Saya gak sudi lagi ngerawat orang cacat sepanjang hidup saya." Ucapan yang baru saja mengudara tak membuat perempuan berusia 17 tahun itu berkomentar apapun, dia tampak tenang, bahkan masih memegang sapu lidi yang digunakan menyapu daun di halaman rumah.

"Kalian bisa berkumpul sebagai keluarga harmonis. Kalau kamu gak bisa ngerawat dia juga, kamu bisa buang dia ke kolong jembatan atau panti jompo. Saya gak peduli lagi. Pokoknya hari ini saya gak ada hubungan apapun dengannya. Saya gak mau hidup susah sama orang cacat yang gak bisa cari nafkah." Sekali lagi ucapan dari wanita dewasa itu mengudara, namun masih tak berhasil menghancurkan ketenangan yang dimiliki perempuan berpakaian lusuh di depannya.

Remaja perempuan yang ada di samping wanita paruh baya itu ikut besuara, memandang remeh seolah apa yang dilihat adalah sekumpulan orang menjijikan. "Aku juga gak mau punya bapak cacat dan penyakitan kayak dia. Lagipula dia bukan bapak kandungku. Ambil saja bapak gak bergunamu itu. Aku ikhlas lahir dan batin."

"Saya akan urus surat cerai dengan bapakmu. Kamu gak perlu lakuin apa-apa, tinggal tunggu surat cerai dari saya dan suruh bapakmu tanda tangani. Kalau gak mau paksa aja, pokoknya saya mau lepas dari suami cacat kayak dia. Lebih baik saya jadi janda lagi dari pada hidup sengsara ngurus beban hidup sampai mati." Perkataan kejam yang tak seharusnya seorang istri katakan pada suaminya, nyatanya keluar dari mulut yang belasan tahun lalu digunakan untuk menggoda laki-laki yang saat ini dia kembalikan pada anak kandungnya.

"Udah, Ma. Kita pergi aja, aku gak mau di tempat kumuh kayak gini. Kita mending jual rumah bapak. Anggap aja itu gaji kita karena udah ngurus dia selama ini, aku gak mau rugi."

"Kamu benar. Ayo, Nak."

Setelah kedua orang itu pergi. Perempuan yang bernama Ina kembali fokus melanjutkan kegiatannya. Menyapu halaman yang dipenuhi daun mangga. Dia berusaha abai pada paruh baya yang menatapnya intens dari atas kursi roda. 

Tak ada pembicaraan antara keduanya. Ina bahkan mengatupkan bibir rapat-rapat seolah enggan untuk bersuara. Setelah halaman rumah terlihat bersih, Ina menghampiri sosok yang masih saja membisu di tempatnya.

Kursi roda itu dia dorong masuk ke dalam rumah reyot tempatnya bertahan hidup.

"Bisa tolong ambilkan air minum, Nak?"

Ina tak menjawab, hanya mengangguk kemudian membawa air dari dalam gelas plastik berwarna kuning. Air itu disodorkan pada sang empu, membantunya meminum saat tangan keriput itu terlihat kesusahan untuk bergerak.

"Terimakasih, Nak."

Lagi-lagi Ina membisu, lebih memilih sibuk menyusun buku pelajaran milik adiknya yang terlihat berserakan.

"Nak!" panggil Santoso pelan.

Ina menoleh namun tetap tak bersuara, lagi-lagi mempertahankan kebisuan dari bibir yang terlihat kering dan pecah-pecah.

Lihat selengkapnya