RUMAH UNTUK BAPAK

SISWANTI PUTRI
Chapter #2

2

Baju yang selesai dibilas Ina jemur pada tali yang terbentang di samping rumah. Cuaca cukup panas hari ini, hanya saja angin berhembus kencang menerpa rumah reyotnya. Ditambah pohon mangga yang menjulang tinggi milik tetangga membuat angin menyerbu berkali-kali lipat ke arahnya.

"Bapak bantu, Nak."

Ina hanya menatap sekilas, tak menolak ataupun mengiyakan ucapan itu. Bahkan saat sebuah tangan mengambil baju basah di dalam baskom seraya memerasnya Ina masih tak berkomentar apapun.

"Bapak bantu peras bajunya, Nak. Kamu tinggal jemur supaya kerjaanmu lebih cepat selesai." Suara lembut penuh pengertian yang baru saja mengudara hanya dibalas gumaman pelan oleh Ina.

"Terimakasih."

Santoso tersenyum tipis. Timbul setitik kebahagiaan setiap kali berinteraksi dengan putri kandungnya ini. Walaupun hanya balasan singkat yang keluar dari mulut itu, tapi tak apa, dia paham kenapa kedua anaknya bersikap dingin. Dia memang pantas mendapatkannya.

"Nasinya Bapak taruh di atas meja. Bapak udah tutup pakai loyan supaya gak dikerubuni lalat. Bapak gak nyampe kalau diletakin di rak." Suasana yang terlalu canggung berusaha Santoso cairkan. Walaupun balasan yang di dapat hanya anggukan tanpa suara hingga hening kembali tercipta.

Sebenarnya Rak piring kayu yang sudah lapuk memang tak tinggi. Tapi untuk Santoso yang duduk di kursi roda pastilah kesusahan menggapainya.

"Mau ngapain lagi habis ini, Nak? Bapak bantu." Tak ingin menyerah begitu saja pada akhirnya Santoso kembali membuka percakapan. Sesekali menoleh guna melihat wajah tenang putrinya.

Kepala Ina menggeleng, menerawang menatap ke sembarang arah. Kegiatannya sehari-hari tak tentu. Jika ada yang memanggilnya menanam padi dia akan pergi, jika ada yang memanggilnya membersihkan rumah dia akan pergi, bahkan jika membetulkan genteng sekalipun akan dilakukan, itu tak masalah lagi.

Tapi semua pekerjaannya berat, tentu saja tak mungkin dilakukan oleh orang yang bahkan menggerakkan kakinya saja tak mampu.

"Nak, habis ini kamu mau ngapain? Biar Bapak bantu kamu kerja." Santoso kembali bertanya, melakukan basa-basi untuk memancing putrinya melanjutkan percakapan.

"Gak ada." Melakukan segalanya menggunakan tubuhnya sendiri sudah Ina lakukan bertahun-tahun. Walaupun harus hancur dan terluka sampai berdarah-darah bukan lagi masalah, pahit getirnya kehidupan sudah dijalani hingga usianya mencapai 17 tahun. Jadi untuk apa membutuhkan bantuan dari orang yang membutuhkan pertolongan? Lebih baik menjalani seperti biasa, bekerja sendiri. Berdiri dengan kakinya sendiri tanpa melibatkan siapapun. Termasuk tak melibatkan adiknya dan sosok di sampingnya ini.

"Kalau butuh bantuan bilang aja sama Bapak, Nak. Jangan sungkan ya. Nanti Bapak bantu." Tampaknya Santoso masih belum menyerah memancing percakapan dengan putrinya.

***

"kenapa ada tas di kamar, Kak?" Ari yang baru saja memasuki kamar tak sengaja menatap kegiatan kakaknya menyimpan sebuah tas.

"Gak apa-apa kan Dek kalau bapak tidur sama kamu di sini?" Tas hitam kecil yang berisikan beberapa helai baju diletakkan di samping kursi. Tak ada kasur di kamar itu, hanya tikar yang digerai langsung di atas tanah dengan dua bantal penuh jahitan. Bahkan isi dalam bantal itu bukanĀ gabus ataupun kapuk, melainkan potongan baju robek yang disulap hingga menjadi sebuah bantal.

"Kalau dia tidur di sini, terus Kakak mau tidur di mana? Tikar kita cuma satu," tanya Ari, gurat tanya terbit diwajahnya, terbukti dahi itu berkerut menciptakan alis yang bergeser ke atas.

"Kakak bisa tidur di mana aja."

"Di mana aja itu maksudnya di kursi kayu? Kakak mau tidur semalaman sambil duduk di kursi kayu!!?" suara Ari terdengar keras, penuh penekanan dengan nada tak terima.

Ina tersenyum tipis, tangan kurusnya terangkat mengelus pucuk kepala adiknya. Mencoba menenangkan karena dia pun tau sulitnya Ari mengontrol rasa kesal.

"Kakak gak apa-apa, Dek."

Lihat selengkapnya