RUMAH UNTUK BAPAK

SISWANTI PUTRI
Chapter #3

3

Santoso tak sadar malah terlelap di kursi roda setelah membantu putrinya menjemur pakaian. Karena itu juga dia tak tau kemana anak perempuannya pergi, padahal ini sudah sore. Masjid juga sudah berbunyi menandakan waktu magrib akan segera tiba.

Perasaan cemas seketika muncul, tak ingin berfikiran buruk lebih jauh akhirnya Santoso perlahan memberanikan diri menemui Ari. Putra bungsunya yang terlihat enggan berdekatan dengannya.

"Nak!"

Remaja 14 tahun yang saat ini belajar seketika menoleh, menghentikan sesaat kegiatan belajarnya karena panggilan dari pintu masuk kamar.

"Kalau tikarnya mau dipake aku keluar dulu bawa buku ini." sebelum Ari membereskan buku-bukunya, Santoso lebih dulu berseru agar anaknya tak meninggalkannya seorang diri.

"Tidak, Nak. Kamu duduk aja, Bapak cuma mau nanya kakakmu di mana? Ini udah sore. Udah masuk waktu magrib tapi kakakmu gak ada." Rasa cemas tak bisa Santoso sembunyikan.

Ari terdiam, mencengkram pulpen miliknya dengan perasaan yang tak bisa dijabarkan.

"Nak?"

"Mungkin di sawah." Andai tak ada pekerjaan sekolah, Ari tentu saja akan menyusul kakaknya. Membantu mencari Tutut seperti kebiasaan sehari-hari. Itu sudah terlalu sering dilakukan, bahkan sudah menjadi kegiatan setiap sore. Kegiatan jika kakaknya tak mendapat pekerjaan dari para tetangga. Hidup penuh kemiskinan mengajarkan mereka untuk mengeluarkan peluh lebih dulu agar bisa mendapat sesuatu yang bisa dimakan.

Tak dapat dipungkiri jika ucapan itu membuat Santoso terkejut. "Di sawah? Kakakmu kerja di sawah?" Hati Santoso perih, rasa bersalah semakin nyata.

Ari menatap dinding kamar yang terdapat banyak lubang. "Kak Ina cari Tutut buat kita makan besok, jadi tolong kalau emang gak bisa bantu jangan bebani kak Ina. Kakakku itu gak akan tega bilang tidak pada orang yang membutuhkan pertolongan. Walaupun untuk bisa nolong orang itu dia harus merangkak sekalipun."

Batin Santoso diremas, tangannya memutih dengan wajah pucat penuh rasa bersalah. "Bapak ... Minta maaf," lirihnya.

"Gak perlu minta maaf sama aku. Di sini kak Ina dan almarhumah ibu yang punya memori buruk sama Bapak. Mungkin bisa dibilang apapun tentang Bapak gak ada di otakku. Semuanya kosong, aku bahkan ngerasa kita hanya orang asing yang kebetulan memiliki darah yang sama. Aku gak ingat sekejam apa Bapak dulu, dan aku gak ingat kebaikan apa yang Bapak pernah kasih ke kami di masa lalu."

Santoso semakin menunduk, kendati demikian, dia masih ditempatnya walaupun rasa malu memuncak menghancurkan kepercayaan dirinya. "Kamu ... apa kamu benci Bapak?"

Ari menoleh sesaat. "Aku gak ngerasain apapun. Bahkan ikatan batin pun gak ada. Apapun yang berhubungan dengan Bapak aku gak peduli. Tapi bukan berarti aku nerima gitu aja apa yang udah Bapak lakuin di masa lalu. Bapak yang udah lepas tanggung jawab bikin aku muak. Bapak buruk untuk mendapat gelar menjadi seorang Ayah dan gagal menjadi kepala keluarga."

Pedih semakin dirasakan Santoso. Bukan cuma kakinya yang tak dapat bergerak. Tapi sekujur tubuhnya seolah lumpuh. Aliran darah seolah terhenti saat rentetan kalimat dari remaja yang berusia 14 tahun menatapnya dengan datar menyadarkannya dengan telak. 

"Maaf karena Bapak kalian menderita. Andai waktu bisa diulang, Bapak gak akan ninggalin kalian ...." Tak ada kalimat yang bisa Santoso fikirkan selain permintaan maaf dan kalimat penyesalan.

"Jangan terlalu jauh memutar waktu. Karena aku yakin, andai musibah gak nimpah Bapak sampai kaki Bapak lumpuh kayak gitu. Istri dan anak tiri Bapak gak akan buang Bapak, dan Bapak gak akan pernah menyesal udah tinggalin kami. Bahkan jika Bapak ngeliat langsung penderitaan kami sekarang ini aku yakin itu gak akan nyentuh hati nurani Bapak. Sekarang Bapak cuma gak punya pilihan lain. Karena cuma kakak yang mau nampung Bapak walaupun dia udah berdarah-darah karena perbuatan dari orang yang ditampungnya."

Mungkin memang benar, ketidakberdayaan inilah yang membuat hati nurani Santoso terbuka. Andai kakinya tak lumpuh! Apa dia akan tetap memiliki empati pada anak kandung yang bahkan pernah dia abaikan selama 12 tahun tanpa adanya nafkah sedikit pun?

"Kalau gitu Bapak mensyukuri keadaan Bapak sekarang, karena berkat ini Bapak bisa kembali pada keluarga Bapak yang asli. Bapak gak akan menyesali kelumpuhan Bapak. Tanpa kaki sebagai penopang, Bapak akan berusaha menebus kesalahan Bapak selama 12 tahun."

"Terserah saja." Ari kembali abai, memilih melanjutkan kegiatan belajarnya tanpa menghiraukan sosok di sampingnya. Namun bukannya pergi, Santoso malah mendekatkan kursi rodanya. Mencoba lebih dekat pada putranya.

"Bapak ingin mengunjungi makan ibumu. Apa Kamu tau di mana letak makam ibumu, Nak?" Bibir pucat itu terlihat ragu mengutarakan keinginannya.

Lihat selengkapnya