Nasi dengan lauk daun singkong kembali Santoso lihat malam ini. Jangankan cukup dua orang, satu orang pun pasti kurang. Bagaimana mungkin anaknya mau-mau saja membaginya dengannya? Belum lagi ini adalah nasi yang memang disimpan untuk Ari makan malam.
Jika memang harus berbagi, nasi ini lebih pantas untuk kedua anaknya. Bukan untuknya, walaupun sejak kedatangannya ke sini tak ada satu makanan pun yang dia konsumsi, tapi tetap saja dia tak bisa makan jika salah satu anaknya tak makan. Terakhir kali Santoso makan saat masih bersama Prita dan Rika di rumah. Sebelum kedua orang itu mendadak menyerukan keengganan untuk merawatnya lagi, saat sarapan habis! Tak butuh waktu lama Prita membawanya ke tempat ini. Tempat di mana anak kandungnya menjalani hidup.
"Kakakmu di mana, Nak? Ini udah waktunya makan malam. Bapak gak lapar, biar kakakmu dan kamu yang makan nasi ini. Dibagi dua," ungkap Santoso dengan lembut, memandang putranya dengan raut hangat. Hal yang dulunya tak dia lakukan.
"Kakak lipat baju."
"Kalau begitu tolong panggilin kakakmu," pinta Santoso, menatap putranya yang siap memasukkan nasi ke dalam mulut.
"Kakak udah makan." Bohong, itu bohong. Ari hanya mempercayai kebohongan kakaknya. Bahkan dia tau tak ada sesuap nasi pun yang dikonsumsi kakaknya sejak pagi. Cerita tentang makan ayam hanya palsu, tadi Ari hanya ingin menyempurnakan kebohongan yang tercipta.
Bagaimana mungkin sosok yang rela menahan lapar seharian bisa makan enak sendirian? Jika bisa, Ari ingin kakaknya memikirkan dirinya sendiri, bahkan tak perlu memikirkannya. Ari ingin kakaknya egois dan jangan menyiksa diri.
"Hargai usaha Kak Ina dan jangan nolak makanan darinya. Tolong dimakan aja, walaupun leher Bapak gatal-gatal makan makanan kayak gini." Kembali Ari menguatkan diri, memasukkan sendok nasi ke dalam mulutnya. Setelah selesai, dia pun meninggalkan tempat itu tanpa mengucapkan satu kata pun lagi.
Tujuannya hanya satu, kembali ke kamar untuk mengeluarkan rasa sesak yang menggerogoti. Semakin hari, entah kenapa hidup semakin sulit dijalani.
Ada apa dengan takdir?
***
"Aku harus dapat uang buat beli seragam baru untuk Ari, sepatu dan tas juga." Ina menatap langit luas yang tak ada satu pun bintang. Terlihat hampa, sama seperti hidup yang dia jalani.
Mungkin akan turun hujan. Entahlah!
"Aku akan bekerja apapun agar bisa dapat uang. Tapi harus apa lagi? Semuanya udah aku coba. Melamar di konter hp tapi ditolak. Menjadi tukang cuci baju dan piring? Sekarang sudah canggih, sudah ada mesin cuci. Dan untuk cuci piring! Ini bukan kota, rumah mereka memang bagus, tapi siapa yang mau membuang-buang uang memakai jasa cuci piring kalau mereka saja bisa melakukannya? Apalagi hampir semua ibu-ibu di sini adalah ibu rumah tangga. Bukan orang penting yang selalu berpergian hingga tak punya waktu tinggal di rumah. Orang di sini sudah terbiasa melakukan tugas rumah tanpa membutuhkan tenaga tambahan."
Ina menghela nafas pelan, mencari pekerjaan tanpa ijazah ternyata sangat sulit. Jangankan ijazah SMA! Bahkan ijazah SD pun tak ada. Yang paling menyedihkan lagi, Ina hanya merasakan sekolah saat di taman kanak-kanak, itu pun hanya satu minggu. Dan mulai saat itulah kebahagiaannya lenyap tak tersisa.
Bukan hanya tak diinginkan! Mereka juga terusir dari rumah yang dulunya menjadi sumber kebahagiaan. Mereka diusir oleh pemiliknya, digantikan oleh orang baru yang berhasil mengambil alih kedudukan.
Anak lima tahun yang saat itu bermain boneka tak tau apa yang terjadi. Diusir pergi, bahkan diseret keluar rumah bersama ibu dan adiknya.
Mereka berjalan tak tentu arah. Ibu yang menyeret koper sambil berurai air mata, dan dia yang memegang tangan adik kecilnya yang saat itu masih menggigit permen lollipop.
Hanya tangisan ibu dan celotehan khas anak kecil berumur 2 tahun yang terdengar, bersama kebingungan dari sang kakak yang masih berumur 5 tahun. Hingga tiba-tiba teriakan histeris dari sang ibu membuat keduanya takut, saling memeluk dan ikut mengeluarkan tangis melihat ibu yang biasanya menceritakan kisah dongeng berubah menjadi sosok tak dikenali.
Meraung keras dengan koper yang dilempar di jalanan. Luruh, sambil menarik rambutnya hingga sebagiannya rontok mengotori aspal.
Kedua anak itu bingung, sesenggukan dengan tubuh bergetar hebat. Kaki pendek mereka menjauh dari sang ibu. Walaupun tak berani mendekat, tapi mereka juga tak meninggalkan. Yang mereka lakukan hanya berdiri di bawah pohon, menatap sang ibu yang masih mengamuk di jalanan sepi sepanjang malam.