Pagi ini Ina merenung, menatap Tutut yang sedang dimasaknya menggunakan kayu. Kejadian semalam terasa nyata, atau mungkin memang nyata! Tapi kenapa pelukan itu sangat asing? Tangan besar milik seorang ayah bukan menghadirkan perasaan hangat, melainkan perasaan dingin yang tak berarti apa-apa.
Apa kejadian masalalu benar-benar berhasil memutus benang merah yang terhubung antara mereka? Lalu apa bedanya memiliki ayah atau tidak kalau semuanya tetap hampa?
"Kak!" Panggilan dari Ari menyadarkan Ina dari kediamannya. Perempuan 17 tahun itu menoleh pada adiknya.
"Ya, Dek? Kamu udah lapar? Tunggu sebentar lagi, Tututnya hampir masak." Sedikit terburu-buru Ina menjawab karena cukup terkejut dengan kedatangan adiknya yang tiba-tiba.
Ari ikut berjongkok di samping Ina, jika kakaknya saat ini menatap Tutut yang dimasak, Ari justru menatap wajah tirus itu dari samping. "Kakak mikirin apa? Aku perhatiin dari tadi Kakak bengong aja. Kakak ada masalah? Ada yang julid lagi ya sama Kakak? Cerita aja, Kak."
12 tahun tinggal di kampung ini membuat Ina dan Ari menerima cobaan begitu banyak. Saat Bu Hanum menemukan mereka luntang-lantung di jalanan hingga akhirnya membawa tinggal di sini semuanya masih baik-baik saja. Penduduk di sini menerima mereka dengan ramah. Dan juga sebagian menunjukkan iba.
Hanya saja hidup kembali mempermainkan! Setelah dibuang oleh sosok yang dipanggil bapak, sebuah fitnah keji merubah sudut pandang hampir semua penduduk kampung pada mereka. Tak ada lagi tatapan ramah, hanya cibiran setiap kali kaki melangkah.
Ternyata masalah akan tetap ada walaupun kita enggan menerima takdir. Terpaksa atau ikhlas tak akan merubah keadaan sampai mata tak bisa dibuka. Kita hanya punya dua pilihan, yaitu tetap menjalani atau mengakhiri dengan paksa.
"Kak," panggil Ari sekali lagi.
Ina menggeleng pelan. "Kakak gak apa-apa, Dek. Kamu mending siap-siap ke sekolah, kalau udah siap baru ke sini buat sarapan." Senyum terbaik tak luput dia berikan agar adiknya tak terlalu kepikiran.
"Tapi---"
"Nanti terlambat loh."
Ari menghela nafas pasrah, walaupun pertanyaan masih saja bersemayam dan masih belum mendapat jawaban tentang kediaman kakaknya yang jelas terlihat melamun sejak tadi. Pada akhirnya Ari tak ingin memperpanjang lagi.
"Kalau gitu aku mandi dulu, Kak."
"Iya, Dek."
Kali ini Ina memikirkan hal lain, pekerjaan apa yang harus dia lakukan untuk menyambung hidup? Otaknya benar-benar buntu, semua sudah dicoba tapi tetap saja hasilnya nihil. Keadaan benar-benar tak berpihak padanya. Seolah takdir enggan mendukung orang sepertinya.
***
Santoso mendekat pada banyaknya ibu-ibu yang berkumpul. "Maaf, Pemakaman umum di mana ya?" Seketika Ibu-ibu yang mengelilingi pedagang sayur menghentikan kegiatannya berbincang ria. Salah satu dari mereka mendekat, bertanya pada Santoso.
"Saya baru melihat Bapak di sini, Bapak ke kampung ini karena ingin berziarah ke makam kerabat Bapak?" tanya salah satu dari mereka dengan ramah.
"Iya, Bu. Sebenarnya saya ingin ziarah ke makam almarhumah istri saya." Santoso menjawab tak kalah sopan, sesekali memperhatikan satu persatu ibu-ibu di depannya dengan ramah.
"Oh istri." Anggukan pelan terlihat pada kepala itu, kemudian ibu-ibu yang lain ikut bertanya mewakili yang lain menyampaikan rasa penasara.