Apa yang dikatakan Ari ada benarnya. Pohon mangga di samping rumah memang membahayakan, jika tak ditindak takutnya menjadi masalah dikemudian hari. Untuk itu setelah menyiapkan sarapan pagi, Ina langsung pergi ke rumah Bu Hanum untuk membicarakan masalah ini. Mungkin saja Bu Wiwin akan mengerti jika Bu Hanum yang menyampaikan masalah pohon mangganya.
"Assalamualaikum, Bu."
Ina mengetuk pintu rumah di depannya. Setelah pembahasan masalah pohon berakhir, Ina harus kembali memikirkan bagaimana caranya mendapat uang untuk mengganti seragam sekolah adiknya yang sudah kumal.
"Permisi, Bu." Kembali Ina mengetuk pintu di depan. Pak Asri mungkin sudah berangkat kerja, tapi biasanya Bu Hanum ada di rumah. Entah menyapu atau menjemur pakaian, tapi pagi ini beliau tak terlihat. Mungkinkah beliau memasak di dapur jadi tak mendengar suaranya?
"Permisi Bu, saya Ina."
"Nak!?" Suara itu berasal dari belakang. Ina menoleh, tersenyum sopan melihat sosok yang dicarinya tengah menenteng belanjaan sayur. Senyum hangat pada wajah itu membuat orang yang melihatnya merasa tentram dan nyaman.
Bahkan suara Bu Hanum sangat lembut saat berbicara. Hanya saja hidup memang pandai memainkan perannya. Semua orang memiliki masalah yang berbeda-beda, dan orang sebaik Bu Hanum pun memiliki masalah. Dia tak bisa punya anak karena rahimnya harus diangkat akibat kecelakaan yang dialaminya.
"Udah lama, Nak?" tanya Bu Hanum lembut, menatap Ina dengan hangat hingga bibir Ina pun tertarik membentuk senyum manis.
"Baru kok, Bu. Dari pasar ya?" Ina bertanya balik setelah melihat belanjaan yang sudah penuh di tangan yang tercipta urat-urat halus.
"Bukan, Nak. Cuma beli di pedagang sayur. Ayo masuk, sekalian temenin Ibu masak di dapur." Ajakan Bu Hanum tak bisa ditolak oleh Ina, pada akhirnya perempuan 17 tahun itu ikut masuk ke dalam rumah.
Memasak harusnya dilakukan oleh ibu dan anak. Tapi Ina tak mungkin bisa melakukan itu, sosok yang pernah bertaruh nyawa untuk melahirkannya sudah tak ada. Kepergiannya mengajarkan pentingnya sebuah kebersamaan. Yang tersisa cuma kenangan yang tak mungkin dia lupakan.
"Kita masak sup sama goreng perkedel. Nanti kamu bawa pulang juga, buat adikmu makan kalau dia pulang sekolah."
Ina sudah terlalu sering merepotkan Bu Hanum. Dari awal, Beliau yang sudah menolongnya. Bahkan waktu dulu saat Bu Hanum dan Pak Asri masih kekurangan mereka tetap membantunya. Bahkan keduanya sampai menjual kambing untuk menolongnya membeli obat untuk ibunya yang saat itu sering histeris. Terpukul akibat tekanan batin hingga membuat mentalnya terganggu.
Ina bersyukur hidup Bu Hanum sudah lebih baik sekarang. Setidaknya rumah kayu yang dulunya kecil kini sudah ditembok dan sudah cukup luas. Andai tak ingin membahas masalah pohon mangga, mungkin Ina tak ingin ke sini, setiap kali datang ke rumah Bu Hanum Beliau pasti memberinya makanan, bahkan uang juga.
Jujur, walaupun miskin, Ina sungkan menerima kebaikan bertubi-tubi. Ada perasaan tak enak setiap kali Bu Hanum memberinya sesuatu dengan cuma-cuma. Ina hanya tak tau bagaimana caranya membalas kebaikan mereka yang sebegitu banyaknya.
"Kamu yang buat campuran bumbunya, nanti biar Ibu aja yang potong dan cuci kolnya, Nak." Suara lembut kembali terdengar, menyadarkan Ina dari lamunannya yang hampir mengambil alih.
"Iya, Bu."
"Oh iya, bagaimana sekolah Ari?"