RUMAH UNTUK BAPAK

SISWANTI PUTRI
Chapter #7

7

"Gimana, Nak. Enak makanannya?" tanya Bu Hanum, sejak tadi dia terus memperhatikan remaja di depannya menyantap makan dengan lahap.

Ina tersenyum tipis, mengangguk pelan setelah air minum berhasil lolos melewati tenggorokannya. Makanan yang dibuat Bu Hanum selalu enak, Beliau benar-benar pandai dalam urusan dapur. Tak perlu diragukan lagi.

"Enak, Bu."

"Alhamdulillah, oh iya kalau pulang bawa rantang ini. Nanti buat makan siang adik sama bapakmu di rumah." Rantang yang disodorkan membuat Ina terdiam beberapa saat, namun setelahnya dia pun meraih apa yang telah diberikan oleh paruh baya di depannya.

"Terimakasih, Bu."

"Sama-sama, Nak."

Ina sadar, dia memang perlu dikasihani, membutuhkan pertolongan dari orang lain. Tapi kebaikan Bu Hanum sudah tak terhitung jumlahnya. Belum lagi permintaan agar mereka menjadi satu keluarga tak mungkin bisa diwujudkan karena hadirnya sosok bapak.

Itu membuat Ina tak enak hati, semakin sungkan hingga tak punya muka setelah mengecewakan keinginan Beliau.

"Oh iya, kamu kenapa temuin Ibu, Nak?" Penuturan itu menyadarkan Ina tentang tujuan utamanya datang ke rumah ini.

Ina menegakkan tubuhnya. "Sebenarnya aku mau minta tolong sama Ibu, ini masalah pohon mangga di samping rumah. Pohonnya tinggi besar, apalagi beberapa hari ini angin cukup kencang. Aku dan Ari takut kalau pohon itu tumbang dan nimpah kami saat kami masih di dalam rumah," tuturnya sedikit ragu.

Bu Hanum tersenyum tipis. "Ibu ngerti, nanti ibu bicara sama Bu Wiwin soal pohon mangga itu, gak perlu khawatir."

"Terimakasih. Maaf selalu ngerepotin. Aku janji gak akan ngerepotin lagi, ini yang terakhir, Bu." Rasa tak enak semakin memuncak, Ina benar-benar sungkan meminta bantuan, bahkan jika orang itu sosok sebaik Bu Hanum.

"Enggak, Nak. Jangan ngomong gitu."

Ina menghela nafas pelan. "Aku cuma takut lupa diri, aku takut kebaikan Ibu aku manfaatin. Jadi kalau memang Ibu mau ngasih sesuatu ke aku, jangan kasih secara cuma-cuma. Ibu bisa suruh-suruh aku dulu. Mau itu bersih-bersih rumah, bantu angkat galon, atau bantu angkat belanjaan di pasar, pasti aku lakuin."

"Ibu ngerti." Bu Hanum tersenyum lembut, mengelus kepala Ina dengan pandangan sayang. Jika ingin egois, Ina bisa saja berubah fikiran, menarik kembali penolakan yang diutarakan beberapa saat lalu. Menuju masa depan yang dijanjikan Bu Hanum dan Pak Asri. Bukan kembali berurusan dengan masa lalu. Bahkan memberikan tempat pada seseorang yang bahkan dia sendiri pun tak menjalankan kewajibannya sebagai seorang ayah.

"Kalau kamu udah capek, kamu bisa temuin Ibu. Tawaran untuk kamu dan Ari akan berlaku selamanya. Kami berdua akan selalu merentangkan tangan saat kamu lelah menjalani sulitnya hidup diusia remaja. Usia yang harusnya menyusun cita-cita untuk masa depan. Bukan malah menjadi tulang punggung keluarga seperti yang kamu lakukan sekarang." Penjelasan yang diutarakan sebenarnya sukses menyentil perasaan Ina, dia juga terkadang lelah bergelut dalam kemiskinan yang tak berkesudahan. Tapi kembali lagi, dia sudah memutuskan satu hal. Dan sebisa mungkin akan mempertanggung jawabkan keputusannya.

"Iya, Bu. Terimakasih."

***

"Habis morotin Bu Hanum lagi ya Ina?" Salah satu ibu-ibu menghentikan langkah Ina yang saat ini berjalan menyusuri pinggiran jalan. Sebisa mungkin dia menahan diri, tersenyum tipis guna memaklumi ucapan ibu-ibu yang memang terkadang kurang disaring.

Sabar, itulah yang harus Ina lakukan, tak perlu terbawa emosi. Bukannya sifat manusia berbeda-beda? Jika ada yang membenci pasti ada juga orang yang menyukai.

"Ya ampun, Bu. Gak boleh gitu, kasian Ina. Udah, Nak. Gak perlu didengerin, pulang saja." Ibu yang satunya menatap Ina dengan ramah, tak menunjukkan wajah sinis seperti yang satunya.

Mendengar itu Ina hanya mengangguk, kembali melanjutkan langkah dengan rantang pemberian Bu Hanum yang ditenteng. Ucapan barusan memang tak perlu dia dengarkan, perkataan negatif hanya akan menjadi penyakit jika di simpan di dalam otak.

"Ibu-ibu, bantuan dari Pemerintah turun lagi. Jam satu siang kita disuruh ke kantor desa ambil sembako. Beras, sayur, buah sama telur. tapi yang ada namanya aja yang boleh ambil." teriakan heboh itu mengudara mengisi pendengaran.

Bahkan Ina menghentikan langkahnya saat ibu-ibu yang baru saja berteriak sudah melewatinya begitu saja, dia pun berbalik. Bantuan? Dia memang pernah mendengar orang yang sebelumnya tak mendapat bantuan akan mendapat bantuan susulan. Tapi itu hanya berlaku bagi orang yang kurang mampu, tentu termasuk dirinya.

"Terus siapa aja yang dapat?"

Ina mendekat pada beberapa ibu-ibu untuk mendengar informasi tentang bantuan yang akan didapatkan Masyarakat kurang mampu.

"Maaf, Bu. Nama saya ada?" tanya Ina, menatap satu persatu ibu-ibu di depannya guna meminta jawaban.

"Eh Neng geulis. Bikin kaget aja."

Ina tersenyum tipis menanggapi ucapan itu. Mendadak dia pun tampak kikuk saat pasang mata terarah padanya.

"Saya cek dulu, Neng."

"Balik lagi dia, emang paling cepat kamu ya kalau masalah ginian Ina. Garcep banget loh, padahal saya kira kamu udah jalan jauh tadi." Seperti biasa, salah satu ibu-ibu yang tak menyukainya berkata dingin dengan pandangan sinis.

"Astaghfirullah, Bu. Bisa gak berhenti julid? Ina yang disindir tapi saya yang capek. Heran saya, gak berhenti recokin Ina mulu. Sadar umur, jangan nambah dosa." Pembelaan seketika Ina dapatkan, hanya saja ibu-ibu yang menyindirnya lagi-lagi mengangkat suara.

"Apasih, mulut-mulut saya kok."

"Tak sumpahin jadi bisu sekalian. Punya mulut kok gak bisa dijaga, kayak hewan liar yang gonggong aja. Katanya orang berpendidikan," ucapan kasar kembali mengudara, hingga kini dibalas delikan kesal dengan pandangan tak suka dari sosok yang menyindir Ina sejak tadi.

Lihat selengkapnya