"Sini, Nak. Biar Bapak bantu bawa." Santoso buru-buru membawa kursi rodanya ke hadapan Ina. Putrinya terlihat kelelahan memikul beras sembako pada pundaknya, keringat dingin juga bercucuran pada dahi itu.
Walaupun tak bisa berjalan normal, tapi Santoso bisa meletakkan beras itu di atas pahanya. Hanya saja gelengan penolakan membuat Santoso tak bisa berbuat lebih banyak. Ina tetap berjalan memasuki rumah sambil membawa beras yang masih dipikulnya.
"Bapak ambilin air minum dulu." Tanpa menunggu jawaban Santoso lebih dulu mengambil segelas air. Kemudian kembali membawanya pada Ina yang tengah mendudukkan tubuh di atas kursi kayu usang.
"Minum, Nak. Kamu pasti capek." Ekspresi tak tega menyeruak saat melihat wajah letih buah hatinya. Nafas tersenggal, sambil sesekali mengelap peluh yang membanjiri pelipis.
"Terimakasih."
Santoso mengangguk pelan, tangannya sedari tadi gatal ingin menghapus keringat itu. Hingga akhirnya tangannya pun terjulur mengelap peluh di wajah tirus putrinya.
"Anak Bapak pasti capek, pasti lapar juga, mau Bapak ambilin makanan? Bapak suapi juga ya?" Tawaran itu sama sekali sekali tak digubris oleh Ina. Sang empu memilih diam, mencoba menetralkan deru nafas yang tersendat-sendat.
"Mau Bapak ambilin makanan?"
"Ari udah makan?"
"Ari tadi langsung pergi setelah izin ke Bapak mau kerja kelompok sama temannya. Bapak udah nyuruh makan dulu, tapi dia bilang nanti aja pas sore. Katanya dia masih kenyang karena habis ditraktir bakso," jawab Santoso setelah mengingat ucapan putranya beberapa waktu lalu.
Ina mengangguk paham, tak lagi memperpanjang pembahasan.
"Kamu belum makan, Nak. Bapak ambilin nasi ya?" Sekali lagi Santoso menyerukan penawaran pada putrinya. Bertanya hal serupa yang diulang-ulang sampai dia pun mendapat jawaban dari bibir itu.
"Aku udah makan sama Bu Hanum."
"Tapi ini udah hampir jam dua. Waktunya makan siang, kamu dari rumah Bu Hanum kan paginya. Jadi ayo makan. Sekalian temenin Bapak makan, Bapak mau makan sama kamu." Santoso menatap wajah putrinya dengan lamat, berharap permintaan kecilnya sudi dipenuhi.
"Iya." Ina tak lagi menolak, beras sembako dibiarkan tergeletak di samping kursi. Nanti baru dia pindahkan. Hanya kantong kresek yang berisikan sayur dan buah yang dibawa dan dimasukkan ke dalam rak.
"Sebagian apelnya aku taruh di atas meja, sebagiannya lagi aku taruh didalam rak," celetuk Ina, membuat bapak 2 anak itu menoleh serta memberikan anggukan sebagai jawaban.
"Iya, Nak. Sini duduk, makan sama Bapak."
"Iya."
Waktu 12 tahun Santoso buang dengan percuma. Hingga kini setiap menitnya Santoso merasakan penyesalan tak berkesudahan. Entah apa yang membuatnya meninggalkan keluarga kandung hanya karena hadirnya orang baru? Kenapa mata dan hati tak bisa tetap sama pada orang yang sejak awal sudah ditentukan? Kenapa akal sehat selalu kalah pada sesuatu yang menarik oleh mata?
"Kenapa gak dimakan?" tanya Ina, menyadari nasi yang sudah disajikan hanya ditatap tanpa dimasukkan ke dalam mulut oleh sosok di depannya.
"Ini baru mau Bapak makan, Nak."
Anak lima tahun yang dulunya dia usir, dibiarkan terlantar di jalanan justru anak itu yang mengulurkan tangan memberi tempat tinggal.
"Bapak sayang sama kamu, Nak," lirih Santoso.
Kegiatan Ina terhenti beberapa saat, detik berikutnya kembali memasukkan nasi ke dalam mulut tanpa menggubris ucapan barusan.