RUMAH UNTUK BAPAK

SISWANTI PUTRI
Chapter #9

9

"Kamu yang udah pancing aku buat keributan di sini, Mas. Dari awal aku udah bilang, gak usah ikut campur sama urusan mereka. Itu bukan tugasmu," tekan Bu Rani, suaranya terdengar kesal, memandang suaminya dengan nyalang bersama kemarahan yang berkobar.

"Aku cuma mau antar telur ini, Ran. Ini hak Ina dan adiknya. Aku cuma mau bantu mereka." Pak Budi mencoba menjelaskan dengan tenang, walaupun beberapa menit lalu dia pun sempat kesal karena tindakan istrinya yang langsung marah-marah.

"Sembako itu bukan urusanmu, ada pengurus yang akan kasih dia sembako. Kamu gak perlu ikut campur sama hal yang bukan urusan kita." Bu Rani tak mau kalah, telunjuknya ikut terangkat menunjuk ke arah telur yang di pegang suaminya.

"Tapi nyatanya sembako itu gak pernah sampai di tangan mereka. Bahkan mungkin bantuan yang sebelum-sebelumnya yang harusnya mereka dapat sudah menjadi daging di tubuh orang lain!!!" Ucapan lantang dari mulut Pak Budi mengundang atensi orang-orang sekitar. Beberapa orang yang mendengar bentakan itu seketika mendekat, berkumpul untuk menyaksikan keributan di rumah kecil bekas kandang kambing.

"Ini ada apa ya Bu Rani, Pak Budi?"

"Ina mencoba menggoda suami saya, Bu." Kalimat penuh penekanan yang sedikit dikeraskan berhasil masuk ke indra pendengaran orang-orang sekitar.

Santoso yang tadinya memperhatikan kini mulai tersulut mendengar tuduhan itu, kursi rodanya dia bawa mendekat pada pasangan suami istri yang masih bertengkar. "Perhatikan ucapanmu, jangan sekali-kali tuduh anak saya seperti itu, kamu gak berhak mengatakan yang tidak-tidak tentang anak saya."

Beberapa orang yang melihat ke arah Santoso dengan tatapan asing mulai berbisik, menimpali satu sama lain guna membicarakan keberadaan orang yang tak pernah menginjakkan kaki di kampung ini sebelumnya. 

"Kalau kamu Bapaknya, harusnya kamu nasehati Ina agar tidak mengikuti jejak ibunya menjadi penggoda," sindiran yang dilakukan Bu Rani semakin menimbulkan cibiran dari orang yang menyaksikan.

"RANI!!!" Tangan Pak Budi mengudara, hampir saja mendaratkan tamparan pada pipi istrinya. Semua orang yang ada di sana ikut menahan nafas menyaksikan sebuah tangan yang sudah melayang namun berhasil di hentikan kembali.

"Kamu berani tampar aku, Mas? Ayo tampar, dan itu akan buktiin kalau kamu dan si Ida memang main gila di belakangku!!" teriak Bu Rani murka. Matanya memerah, tangan terkepal dengan leher menegang bersama rasa marah tak terkendali.

Santoso mengepalkan tangannya, dia selalu tak terima almarhumah istrinya mendapat tuduhan seperti ini. "CUKUP!!! Kalau ada masalah dengan suamimu selesaikan di rumah kalian. Jangan menghina keluarga saya, apalagi berani menjelekkan almarhumah istri saya." Suara Santoso ikut mengeras, pandangan tak bersama kobaran amarah yang ditahan.

"Tapi Bu Rani gak salah, istri Bapak memang perempuan penggoda," sahut salah satu ibu-ibu pada barisan yang membentuk lingkaran. Menimpali ucapan yang baru saja Santoso serukan dengan suara keras hingga terdengar oleh yang lain.

"Benar sekali, dia bahkan goda Pak Budi," tambah yang lain tak kalah menyudutkan. Pandangan penuh hinaan dilayangkan hingga suara Santoso tak lagi didengarkan hingga berakhir menjadi pembelaan yang tak ada artinya lagi.

"Sudah-sudah, jangan memanas-manasi, kita gak berhak ikut campur sama masalah ini." Ibu-ibu yang lainnya tampak menengahi, mampu membaca situasi hingga memilih menghentikan perdebatan yang bisa saja tak terkontrol jika dibiarkan begitu saja.

"Tentu saja kita berhak ikut campur, kampung kita akan terkena sial kalau ada yang berani melakukan zina. Jangan sampai Ina mengikuti jejak ibunya jadi perempuan yang gak bener." Ucapan barusan dibalas anggukan persetujuan dari yang lainnya. Terbukti kepala mereka mengangguk dengan suara mengiyakan pertanda apa yang dikatakan tak salah.

"Sudah saya bilang jangan mengatakan yang tidak-tidak tentang anak saya." Santoso kembali membentak, mengepalkan tangan guna meredam amarah yang muncul. Pandangannya terarah pada orang-orang yang membicarakan anaknya dengan hina.

"Memang kenapa hah? Si Ina memang perempuan penggoda. Buah jatuh gak jauh dari pohonnya. Saat ibunya gagal goda suami saya dia yang malah lanjutin rencananya. Dia mau uang tanpa capek-capek kerja, dia gak mau hidup miskin makanya modal ngang---"

Ucapan Bu Rani terhenti saat batu bata hampir mengenai wajahnya. Batu bata itu melewati pipi kirinya, walau tinggal beberapa inci, namun tak sampai meninggalkan goresan. 

Saat kesadaran kembali pulih, mata Bu Rani melotot pada sosok yang berada di pintu masuk rumah. begitupun dengan semua orang yang kini mengalihkan pandangan pada remaja yang terlihat menetralkan deru nafasnya.

"Kurang ajar kamu Ari, kamu mau membunuh saya hah? Sudah gila kamu ya," pekik bu Rani dengan suara keras, tangannya menunjuk ke arah Ari yang juga memandang dengan tatapan tak kalah nyalang.

"Pergi dari sini!!!" teriak Ari, bola matanya memerah, nafas naik turun dengan tangan mencengkram knop pintu di sampingnya. Sudah cukup penghinaan yang dia dengar dari orang-orang di luar rumah. Sungguh, Ari tak bisa menahannya lagi.

"Anak kurang ajar kamu!!!"

"PERGIIIII." Teriakan keras dari remaja 14 tahun cukup membuat suasana mendadak hening. "Mulut kalian kotor, kalian gak pantas hina Kak Ina saat kalian bahkan lebih rendah dari binatang. Otak kalian semua mati, akal sehat kalian mati. Kalau satu kali lagi ada kata-kata kotor yang hina Kak Ina, maka batu bata yang akan bungkam mulut busuk kalian."

Lihat selengkapnya