Malam ini Ina tak tidur. Matanya masih terjaga dan lebih memilih duduk di belakang rumah menatap langit pekat yang terdapat banyak bintang. Angin sepoi yang menyentuh kulit tak membuatnya bangkit dari tempat itu.
"Nak, sarapan."
Ina tersentak, matanya mengerjap mendengar suara lembut yang mengalun indah pada indra pendengaran. Untuk sesaat dia terhipnotis, hingga suara lain ikut menyusul dan berakhir membuatnya membisu seketika.
"Anak Bapak yang cantik, ayo sarapan. Ibu udah masak sup ayam loh, Nak. Main-mainnya sama adek udahan dulu. Nanti baru dilanjut."
"Nak."
"Sayang."
"Ina sayang, ayo makan."
"Anak Bapak yang cantik."
Ina menggeleng pelan, memukul kepalanya berulang-ulang agar bayangan itu lenyap. Kilasan masa lalu yang tiba-tiba tercipta membuatnya frustasi. Suara itu terdengar jelas, seolah benar terjadi saat ini. Padahal Ina sendiri tau, bahwa semuanya hanya delusi yang tercipta dengan sendirinya di dalam otak.
"Nak."
Saat suara kembali mengudara, Ina menarik rambutnya frustasi. Berteriak keras guna melenyapkan suara yang kembali mengalun memecahkan isi kepala. Raut wajahnya memias, menutup mata dengan erat bersama keringat dingin yang mengucur pada dahi. Barulah saat tepukan terasa pada pundaknya, Ina berhasil mengendalikan diri.
"Nak, ini Bapak."
Tubuh Ina membeku bersama kesadaran yang kembali pulih. Netra hitamnya kembali fokus menatap sekitar, suasana gelap dengan beberapa pohon bergerak pelan karena tertiup angin. Ina mengerjap kembali, sebelum menghela nafas kasar menyadari kenangan masa kecil sempat mengambil alih tubuhnya.
"Nak, kamu baik-baik aja kan?" Santoso menatap putrinya dengan raut khawatir, tangan lemahnya terulur mengelap dahi yang kini dibasahi keringat dingin.
"Aku baik," jawab Ina, tanpa menolehkan pandangan pada sosok di sampingnya. Dia lebih memilih menikmati suasana gelap yang tercipta di depan mata.
"Ayo masuk, Nak. Ini udah malam, tidur sama adikmu di kamar," ajak Santoso, tersenyum tipis dengan tangan yang masih menyempatkan mengelus rambut tergerai milik putrinya. Tak adanya penolakan membuatnya lebih leluasa melakukan kegiatannya ini.
"Aku mau sendiri." Ina berusaha tak terbuai oleh kehangatan yang sekarang dia dapatkan. Dia tak menginginkan adanya harapan yang bisa saja membuatnya kecewa. Dulu dia pernah menganggap sosok di sampingnya lebih dari apapun. Tapi yang dia dapat malah pengusiran yang membekas, membuatnya tak percaya lagi dengan namanya sebuah hubungan. Bahkan jika itu hubungan darah sekalipun.
"Tapi udara dingin, Nak. Nanti kamu sakit, ayo masuk, ini juga udah tengah malam loh." Wajah yang terdapat beberapa keriput nampak fokus meneliti wajah putrinya dari samping. Menatap setiap inci lekuk wajah yang semakin membuat hatinya tercubit. Pipi tirus itu membuatnya sadar tak ada makanan bergizi yang masuk ke dalam tubuh putrinya.
"Tolong tinggalin aku sendiri." Kembali Ina berucap, menunjukkan raut putus asa pada netra sayunya. Dia benar-benar ingin sendiri, malam ini dia hanya ingin menenangkan diri sebelum esok hari membuatnya kembali menjalani hidup. Hidup yang mungkin lebih melelahkan dari hari-hari sebelumnya.
"Baiklah, Bapak masuk dulu. Tapi jangan lama-lama di luar, kamu juga tidurlah sama adikmu di kamar. Bapak bisa tidur di atas kursi roda." Pada akhirnya bapak 2 anak itu mengaku kalah, dia tak mau lagi memaksa putrinya hingga mengakibatkan hubungan semakin jauh.