RUMAH UNTUK BAPAK

SISWANTI PUTRI
Chapter #11

11

Desa Indah Asri.

Ina menghela nafas lega setelah memasuki perbatasan kampung. Lapangan luas yang biasanya dijadikan tempat bermain bola adalah hal pertama kali yang dia lihat setelah sampai di sana.

Pagi ini lapangan terlihat sepi, mungkin karena bukan hari libur. Tentu saja remaja yang biasanya bermain bola pasti pergi ke sekolah.

Hampir keseluruhan rumah di kampung ini adalah rumah batu, cukup besar dan memiliki pagar setiap rumahnya. Dari pada disebut kampung, tempat ini lebih cocok disebut perumahan kawasan elit. Benar-benar kontras dengan tempat tinggalnya yang masih memiliki banyak pohon berjejer dibandingkan bangunan. Dan sebagian rumah masihlah rumah panggung. Hanya beberapa yang sudah ditembok batu dan memiliki pagar besi.

"Aku harus ke pasar," monolog Ina, tempat yang dia tuju melewati sekolah adiknya. Remaja 17 tahun itu tersenyum tipis, pasti adiknya sedang belajar sekarang. Sebelum Ari pulang sekolah dia harus sampai lebih dulu di rumah, tentu setelah membeli ayam goreng juga. Dan semoga hari ini dia mendapat pekerjaan untuk menambah pemasukan.

"Udah lama aku gak ke pasar."

Semenjak Bu Hanum mulai merintis bisnisnya berjualan online. Beliau tak lagi ke pasar, lebih memilih belanja sayur di tukang keliling. Belum lagi sawah yang kebanyakan gagal panen membuatnya tak punya pekerjaan saja.

Setelah sekian lama, ini pertama kalinya Ina menganggur cukup lama. Biasanya dia akan mendapat pekerjaan dari beberapa tetangga baik hati. Paling sering dipanggil ke sawah, tapi kali ini Ina tak memiliki pemasukan apa-apa lagi.

"Bubu!?" Tangan kecil tiba-tiba menghentikan pergerakannya. Terlihat bocah kecil yang tengah memegang boneka dengan rambut dikuncir kuda. Kepala itu mendongak ke atas, menatap ke arahnya dengan tatapan polos.

"Bubu!?" sekali lagi anak kecil itu berseru, tersenyum lebar menampilkan deretan gigi susunya yang rapi. "Akhirnya ketemu Bubu juga, ternyata ayah gak bohong. Bubu benar-benar dateng," celotehnya riang, mengundang rasa gemas walaupun Ina memilih mengerjap mencerna situasi.

"Bubu?" Ina mengeryit samar, mencoba mencari makna kata yang beberapa kali diserukan anak di bawahnya.

"Gendong Bubu ...." Suara rengekan membuat Ina membisu. Beberapa kali ujung bajunya ditarik hingga akhirnya dia meraih tubuh kecil di bawahnya untuk masuk ke dalam gendongannya. Berjalan ke bawah pohon agar bisa berteduh dari teriknya sinar matahari.

"Bubu, Laper ...." celotehan polos khas anak kecil lagi-lagi mengalun indah pada pendengarannya. Ina semakin bingung, tak tau harus melakukan apa mendapat keanehan di pagi hari. "Bubu laper ...."

"Laper?" Ina membeo, menatap sekitar sebelum terhenti pada rumah tingkat bercat putih dengan pagar hitam yang sedikit terbuka. Mungkin anak ini keluar dari sana, Ina akan memastikan sebelum mengantarnya ke sana.

"Adek rumahnya yang itu?" tanyanya lembut, membuat anak yang ada di pangkuannya mendongak sebelum mengangguk antusias. Beberapa helai rambut pun bergoyang seiring pergerakan kepala yang naik turun.

"Iyah."

"Kakak antar ke sana ya?" Sekali lagi Ina bertanya sembari meminta jawaban, takut jika dipaksa anak lucu ini akan menangis hingga menciptakan keributan yang malah membuatnya menjadi tersangka kejahatan. Di tuduh yang tidak-tidak dan mungkin bisa saja mendapat fitnah sebagai penculik anak. Mengingat pakaiannya pun sangat kumal dengan rok yang terdapat beberapa jahitan.

"Gak mau, Lili sembunyi dari ayah." Penolakan seketika mengudara, nada merajuk terdengar hingga membuat Ina tersenyum tipis melihat wajah bulat itu menekuk. Mendadak Ina mengelus beberapa kali punggung kecil yang tengah mengalungkan tangan pada lehernya.

"Kenapa sembunyi?" Ina cukup penasaran setelah mendengar ucapan anak ini barusan. Entah dorongan apa yang membuatnya bersembunyi dari ayahnya sendiri.

"Lili gak mau ayah pergi kerja, jadi Lili sembunyi deh. temenin Lili sembunyi dulu ya Bubu? Gak lama kok. Kalau ayah gak jadi pergi baru deh Lili sama Bubu ketemu ayah. Tapi Lili juga keluar rumah karena sengaja nungguin Bubu. Ayah bilang Bubu mau dateng hari ini, Lili udah bosan tunggu di dalam rumag jadi keluar deh." Celotehan dari anak yang Ina permikarakan berumur 4-5 tahun membuatnya terpaku.

Padahal tempat mereka duduk berhadapan langsung dengan rumah Lili. Jika ayah anak ini sadar kalau dia menghilang, tak sulit untuk bisa menemukan. Keluar rumah langsung ketemu.

"Tapi nanti dicariin loh. Kasihan ayah sama ibunya Lili. Kakak antar pulang ya?" Ina berusaha membujuk, tapi Lagi-lagi gelengan yang dia dapat. Tak punya pilihan lain akhirnya dia pun memilih menunggu sampai orang rumah keluar.

"Bubu, laper ...." rengekan kembali terdengar, Ina menggaruk pelipisnya. Bingung harus melakukan apa untuk membantu memberikan makanan sedangkan anak di bawahnya saja tak ingin diajak pulang. Lili memang lucu, tapi dia juga rewel, sedari tadi tak berhenti mengoceh layaknya burung Beo.

"Yaudah Kakak antar pulang ya?"

"Gak mau."

Ina kembali pasrah, duduk pada pinggiran jalan sambil memangku Lili yang kini sudah bermain boneka. Tak cukup lama selonjoran di pinggiran jalan, tiba-tiba laki-laki dewasa dengan jas putih kedokteran keluar dari rumah. Menyebrang jalan menghampiri mereka dengan wajah khawatir bercampur cemas.

"Ya ampun, Nak. Ayah cariin ternyata kamu di sini. Ayah udah bilang jangan keluar sendirian. Kalau mau pergi harus sama, Sus. Kenapa nakal?" Rentetan kalimat berhasil keluar setelah meraih tubuh Lili yang masih duduk di pangkuan Ina.

Lili terlihat memberontak, kembali menyerukan kata bubu yang tak Ina ketahui artinya. Mulut mungilnya terlihat menekuk dengan mata berkaca-kaca.

"Gak mau sama Ayah, mau sama bubu ...." rengekan Lili semakin menjadi. Mengulurkan tangan namun Ina masih terdiam karena tak ingin ikut campur.

"Dia bukan bubu sayang." Suara laki-laki dewasa itu mulai melembut–mengelus rambut Lili penuh sayang berulang kali.

"Enggak, dia bubu." Lili semakin menyodorkan tangannya. Ingin kembali pada gendongan Ina yang sejak tadi membatu, menyaksikan interaksi ayah dan anak yang tampak manis. Hanya saja Ina tiba-tiba tergelak saat tangan mungil itu menarik rambut ayahnya sendiri. Berakhirlah sebuah ringisan terdengar dari pemilik bibir tebal dengan warna sedikit merah alami.

Lihat selengkapnya