RUMAH UNTUK BAPAK

SISWANTI PUTRI
Chapter #12

12

"Sekali lagi terimakasih karena mau temenin Lili. Saya benar-benar berhutang banyak sama kamu hari ini." Dokter Rendi tersenyum tipis seraya menatap Ina yang baru saja melepaskan seatbel miliknya. Mereka sudah sampai di depan pasar yang terlihat ramai saat ini. Banyak pedangang yang berjejer dipinggiran jalan, juga pejalan kaki yang keluar masuk area pasar.

Ina tersenyum tipis, mengangguk pelan sembari menjawab. "Sama-sama, Dok. Lili juga lucu, kalau gitu saya pamit dulu."

"Tunggu dulu." Dokter Rendi menahan pergerakan Ina. "Tolong diterima, ini sebagai bentuk ucapan terimakasih karena udah mau temenin Lili." Sebuah amplop disodorkan ke depan, Ina tak langsung menerima. Dia tentu bimbang harus mengambil atau menolaknya.

"Kamu bilang lagi cari kerjaan, artinya kamu butuh uang. Anggap saja ini gajimu hari ini." Ucapan yang mengudara terdengar masuk akal, dan Ina pun membenarkan apa yang diserukan barusan. Waktunya terbuang karena menemani Lili, dan uang ini sebagai pengganti waktunya yang hilang.

Mungkin ini rezeki dari Tuhan dengan dokter Rendi sebagai perantaranya.

"Terimakasih." Lagipula Ina memang membutuhkan banyak uang untuk menabung. Berharap saat hari kelulusan adiknya, dia sudah mempunyai pegangan untuk Ari melanjutkan sekolah di kota.

"Sama-sama."

Rasa syukur seketika Ina panjatkan saat ini. Kejadian tak terduga, penghasilan tak diduga-duga. Ina tak menyangka akan ada kejutan untuknya. Niat hati ingin mencari pekerjaan untuk mendapat penghasilan diwujudkan hanya karena bertemunya dengan sosok lucu bernama Lili dan ayah baik hati bernama dokter Rendi. Ini adalah langkah yang baik.

***

Santoso mengelap peluh yang membanjiri pelipisnya setelah cukup jauh membawa kursi rodanya ke pinggiran jalan raya. Tinggal sedikit lagi sebelum sampai di lampu merah, dan tak jauh dari sana akan ada angkot yang terparkir untuk mencari seorang penumpang.

Rasa lelah berusaha dia tahan. Bahkan nafas yang ngos-ngosan tak mengurungkan niatnya berjuang. Semua ini dilakukan untuk buah hatinya, dan ini pertama kalinya Santoso memprioritaskan mereka berdua. Setidaknya selama masih hidup, Santoso harus bisa berguna bagi mereka. Untuk itu dia harus mendapatkan uang dari rumah yang sudah berpindah tangan menjadi milik istrinya Prita.

Semoga saja istrinya mau berbaik hati. Masih memiliki hati nurani dan sedikit sadar diri kalau rumah itu adalah rumah miliknya. Walaupun sudah membalikkan nama! Tapi jerih payah dan keringat Santoso lah rumah itu bisa berdiri. Bahkan rumah itu ada sebelum dia menikah dengan Ida. Dan bertambah besar saat memutuskan menjalani bahtera rumah tangga bersama ibu dari ke dua buah hatinya. 

Prita hanyalah wanita beruntung yang berhasil menjeratnya, hingga wanita itu pun menikmati kesuksesannya sebagai istri dari laki-laki mapan. Walaupun pada akhirnya semua itu tak bertahan lama. Dimulai dari Santoso yang lumpuh, dan disusul dengan kesialan lain lagi, hingga berakhirlah mereka hidup susah walaupun masih tinggal di rumah yang cukup besar. Tak adanya penghasilan yang masuk membuat Prita jengah dan mengusir Santoso karena laki-laki itu tak berguna lagi di hidupnya.

"Maaf, Pak. Bapak mau ke mana?" Seseorang tiba-tiba menghentikan Santoso menggerakkan kursi roda. Mungkin tak tega melihat laki-laki cacat yang dipenuhi keringat dingin sedang menjalankan kursi rodanya seorang diri. Menyusuri pinggiran jalan pergerakan pelan seolah tak punya tenaga.

"Saya mau ke tempat angkot, Nak."

"Saya bantu ke sana ya, Pak?"

Hati Santoso tiba-tiba terenyuh mendapat kebaikan itu, seketika dia menatap anak perempuan berseragam putih biru di depannya. Anak ini masih SMP, sama seperti putranya. Melihat anak ini sudah berkeliaran di luar sekolah, artinya Ari juga sudah pulang sekolah.

"Terimakasih, Nak."

"Iya, Pak. Gak apa-apa."

Untuk beberapa saat Santoso bisa meregangkan otot tangannya. Jika saja kakinya tak lumpuh, mungkin pergerakannya bisa lebih cepat dan tak menguras tenaga sebanyak ini. Belum lagi jalan yang sebelumnya berlubang membuat perjalanannya terhambat.

"Bapak mau ke mana naik angkot?"

"Saya mau ke kota, Nak." Santoso menjawab sembari tersenyum tipis, walaupun anak di belakangnya tentu saja tak bisa melihat senyum di wajahnya yang terukir.

Lihat selengkapnya