RUMAH UNTUK BAPAK

SISWANTI PUTRI
Chapter #13

13

Rumah besar dengan gerbang tertutup rapat membuat Santoso bergeming. Baru dua malam dia tak tidur di rumah ini, dan itu karena perbuatan istri dan anak yang sudah dimanjakan selama ini. Setelah musibah naas terjadi padanya. Kakinya lumpuh, karirnya hancur, dia pun disingkirkan oleh istri dan anak tirinya.

Tak ada yang tersisa, bahkan rumah yang susah payah dibuat megah kini hanya mampu ditatap dengan sendu. Santoso memang akan menjual rumah ini, selain karena tak punya pekerjaan dan pasti pengeluaran untuk rumah ini sangat lah besar, uang itu juga untuk biaya hidup buah hatinya sebagai penebusan dosa.

Hanya saja, apa Prita mau berbaik hati dan membagi hasil uang rumah itu padanya?

Santoso menghela nafas pelan, mendekat pada lonceng yang ada di luar pagar untuk dibunyikan.

Suasana terlihat sepi. Kehidupan di kota memang seperti ini, tak heran jika sesama tetangga pun tak saling mengenal. Hanya saja, biasanya pintu rumahnya akan terbuka. Bahkan di depan gerbang tak ada tulisan rumah ini dijual. di sini hanya ada dua kemungkinan, rumahnya tak jadi dijual oleh Prita, atau rumah ini ternyata sudah terjual dan kini sudah berpindah kepemilikan.

Sekali lagi Santoso memencet bel di depannya. Sudah sejauh ini, dia tak akan pulang sebelum mendapat apa yang menjadi tujuannya.

"Bagus deh kamu ternyata ke sini, Mas. Aku gak perlu lagi menemuimu di desa kumuh itu." Prita tiba-tiba berseru dengan suara angkuh. Ucapannya terdengar dari belakang, hingga kini terlihat Prita dan Rika menenteng paper bage pada kedua tangannya. Santoso tak terkejut lagi, keduanya memang suka menghamburkan uang. Dan entah kenapa dia bisa diperbudak oleh mereka berdua! Dijadikan ATM berjalan setiap harinya. Mungkin ada yang salah dengan otaknya, Santoso bahkan baru sadar dan menyesal telah mengenal Prita dihidupnya.

"Aku kesini ingin membahas sesuatu," ucap Santoso mengangkat suara. Tak ingin berbasa-basi dan tinggal lebih lama dihadapan dua orang yang membuatnya merasakan pedih karena telah disingkirkan.

"Sama, aku juga ada urusan sama kamu. Aku gak mau basa-basi, tanda tangani surat cerai ini, aku baru saja ingin menemuimu untuk menyerahkan ini, tapi kamu malah datang sendiri ke sini. Dan kamu harus tau, Mas. Sebenarnya aku sudah lama mengajukan perceraian di pengadilan." Kalimat tenang tentang kejujuran nyatanya mampu membuat Santoso terusik, hanya saja dia tak ingin diambil alih oleh rasa kecewa.

Pada akhirnya Santoso berusaha tak terpancing oleh ucapan yang baru saja istrinya katakan. "Aku ke sini mau bahas rumah, setelah itu bahas yang lain."

"Rumah? Memang kenapa dengan rumahku ya, Mas?" Prita menekankan kata rumahku pada kalimatnya. Memperjelas jika bangunan yang berdiri kokoh ini sudah menjadi hak paten miliknya dan tak bisa diganggu gugat. Bahkan jika itu adalah orang yang membiayai bangunan di sampingnya sampai sebesar sekarang.

"Aku memang sudah membalikkan nama, tapi jangan lupa kalau rumah ini bisa berdiri karena hasil jerih payahku Prita." Santoso masih tak ingin menyerah, rumah inilah satu-satunya yang bisa memberinya uang untuk diserahkan pada anaknya yang saat ini tercekik oleh kemiskinan.

"Lalu? Kamu fikir aku peduli, Mas?" Prita tertawa pelan, menatap remeh laki-laki yang masih berstatus suaminya. Wajah itu terlihat putus asa dan memprihatinkan.

"Bicara di dalam aja, Ma. Takutnya ada yang kepo dan ngerekam pertengkaran kalian." Rika mencoba menengahi pembicaraan yang terjadi. Dia hanya tak ingin menjadi tontonan publik dan dimasukkan ke media sosil yang pada akhirnya membuat malu.

"Benar juga kamu." Prita menatap Santoso sesaat. "Kita bicara di dalam." Mengetahui ini mungkin saja berakhir dengan pertengkaran, pada akhirnya Prita melangkah memasuki rumah. Pun diikuti Santoso yang tak juga membantah.

"Jangan berharap aku mau dorong kursi rodamu itu, Mas." Wajah Prita sedikit menoleh sebelum membuka pintu rumah yang terlihat besar dan tinggi. Dilapisi warna emas hingga terlihat berkelas.

"Aku juga gak butuh." Santoso juga tak berharap dibantu olehnya. Jika bukan karena masalah rumah, dia pun tak ingin melihat wajah dua orang di depannya. Ibu dan anak yang berhasil membuatnya gila hingga melakukan apapun untuk mereka.

Jika waktu bisa diputar, atau kehidupan yang bisa diulang. Santoso berjanji tak akan pernah bermain hati. Berpaling dari keluarga sama saja meminum racun secara sadar. Jika tidak mati, pasti akan setengah mati. Dan sekarang Santoso merasakan penyesalan yang tak bisa diperbaiki lagi. Istrinya Ida pergi, kedua anaknya sengsara selama ini dan dia juga menderita akibat kebodohannya sendiri.

Untuk kesekian kali Santoso mengatakan sangat menyesal untuk apa yang telah terjadi pada hidupnya.

Lihat selengkapnya