Untuk menggantikan ayam yang dijanjikan, Ina akhirnya memilih membeli tiga bungkus bakso pada Kang Mamang yang terbiasa jualan malam. Senyum Ina perlahan terbit, pasti Ari senang dibawakan bakso. Untuk masalah ayam, dia berjanji akan membelinya besok, tentu menggunakan uang yang dia dapatkan.
Setelah sampai di depan rumah! Kening Ina mengernyit, menyadari rumah mereka tertutup rapat. Mungkin Ari bosan menunggunya, itu sebabnya dia tertidur.
"Dek, kakak pulang."
Ina mengetuk pintu rumah, tak butuh waktu lama hingga pintu kayu dibuka dari dalam. Terlihat Ari yang muncul dari dalam sana, sebelum kembali berbalik dan masuk ke dalam kamar. Tingkahnya terlihat aneh, Ina bahkan bisa merasakan ada yang salah dengan adiknya.
"Tunggu, Dek. Kita makan bakso dulu." Ina berusaha menghentikan langkah adiknya yang kini terlihat mengabaikannya. Padahal mereka tak terlibat pertengkaran apapun. Paginya mereka baik-baik saja, tapi kenapa malam ini Ari bersikap berbeda padanya?
"Kakak makan aja," tolak Ari.
Ina meletakkan bakso dan juga tikar yang digenggam. Tak ingin ada sesuatu yang disembunyikan akhirnya Ina mengikuti langkah adiknya masuk ke dalam kamar.
"Kamu marah sama Kakak?" Ina berusaha mencari jawaban dari tingkah aneh Ari yang terlihat seperti orang pendiam. Ina tak tenang jika adiknya bersikap begini. Tak seantusias biasanya saat dia pulang ke rumah. Ini bukanlah sifat adiknya.
"Kamu marah?"
Ari menggeleng pelan.
"Terus kamu kenapa, Dek? Ada yang jahatin kamu di sekolah ya? Ayo sini cerita sama Kakak." Ina masih berusaha membujuk adiknya, menggali informasi walaupun sejak tadi kepala itu masih tak ingin menoleh kearahnya.
"Aku mau istirahat, tolong jangan ganggu aku dulu, Kak." Ari merebahkan tubuhnya, berbaring memunggungi Ina yang masih diliputi rasa penasaran dan juga kebingungan karena sikap adiknya.
"Tapi kamu belum makan."
"Aku udah makan, aku makan siang sama sayur tadi pagi. Tolong jangan ganggu aku dulu, aku capek. Aku udah kenyang, Kakak makan aja," jawaban itu tak lantas membuat Ina merasa puas, pada akhirnya dia tetap mendudukkan diri di samping adiknya yang sudah berbaring.
"Tapi---"
"Besok aku ada ulangan harian, aku tidur dulu takut terlambat ke sekolah," potong Ari, menghentikan ucapan Ina yang belum sepenuhnya selesai. Sekarang rasa sedihlah yang mengganjal dihatinya, namun Ina pun tak bisa melakukan apapun jika adiknya sendiri tak ingin bercerita.
Ina tak lagi memaksa. "Kakak simpan bakso kamu di rak ya, Dek. Nanti kalau kamu lapar langsung makan aja. Nasi tadi pagi juga ada." Sarung yang hanya menutupi kaki Ari, Ina naikkan sampai ke pinggang. Udara sangat dingian, dia tak mau adiknya sakit.
"...."
Walaupun rasa penasaran masih ada, namun Ina tak lagi memaksakan kehendaknya. Dia hanya menatap punggung Ari yang tengah naik turun, bernafas dengan teratur dan mungkin pemiliknya sudah terlelap. Biarlah Adiknya beristirahat dengan tenang.
"Kakak keluar dulu," pamitnya pelan, tak ingin membangunkan adiknya yang sudah tertidur lelap. Namun sebelum benar-benar keluar dari kamar, Ina menyempatkan mencium kepala adiknya yang saat ini tidur menyamping hingga membelakanginya.
***
Santoso baru sampai di depan rumah saat tengah malam. Kursi roda yang digunakan segera didorong menuju pintu usang di depan mata. Dia merasa tak enak, apalagi sampai harus membangunkan kedua anaknya karena pulang larut malam. Tapi mau bagaimana lagi, perjalanan dari kota memakan waktu cukup banyak. Itulah kenapa dia pulang terlambat.
Baru saja ingin memanggil dengan pelan, ternyata pintu di depannya tak dikunci dari dalam. Bahkan setelah masuk, terlihat putrinya masih terjaga dan duduk di atas kursi menatap ke datangannya.
"Maaf ya, Nak. Gara-gara Bapak pulang larut kamu sampai begadang gini." Penyesalan itu terdengar dari suara Santoso yang memelan. Tak enak hati mengganggu waktu istirahat putrinya.