"Saya memang butuh pekerjaan, tapi bukan sebagai pengemis di jalanan," sentak Santoso, tersinggung dengan penawaran yang baru saja diucapkan. Mau sesulit apapun hidup, mencari belas kasihan orang agar bisa mendapatkan uang bukanlah solusi.
"Heh, gak usah belagu, Pak. Memang apa yang bisa Bapak kerjain dikondisi sekarang? Yang ada Bapak malah jadi beban anak Bapak. Atau mungkin Bapak memang sengaja gak mau kerja supaya anak Bapak sengsara? Saya tau siapa Bapak ini, Bapak adalah ayah Ina dan Ari kan? Wajar sih, dulu aja Bapak biarin mereka kelaparan, sekarang kenapa Bapak mau kasih uang untuk mereka ditengah kondisi Bapak yang begini. Cacat dan gak bisa lakuin apa-apa," sindirnya sinis.
Tangan Santoso terkepal. "Kamu gak berhak ikut campur masalah keluarga saya. Itu bukan urusanmu. Dan saya gak akan jadi pengemis." Mengemis bukanlah pekerjaan, itu hanyalah jalan pintas memanfaatkan kondisi yang ingin mencari keuntungan tanpa repot-repot bekerja.
"Yaudah kalau gak mau. Lagian apa sih yang buat Bapak nolak jadi pengemis? Orang kayak Bapak itu harusnya gak perlu mikirin harga diri. Bapak itu pengecut, bahkan semua orang di kampung ini tau gimana penampilan Ina dan Ari belasan tahun lalu saat di bawah ke sini oleh Bu Hanum. Mereka memang gak pernah cerita, tapi melihat Bapak yang masih hidup sampai saat ini artinya Bapak memang sengaja telantarin mereka."
Walaupun itu adalah kenyataan, nyatanya Santoso masih tak terbiasa mendapat penghakiman dengan maksud menyudutkan seperti ini. Dia tau apa yang dilakukan di masa lalu tak bisa dimaafkan, hanya saja pantaskah orang-orang mengungkit dosa yang berusaha dia tebus pada buah hatinya?
"Dengar ya, Pak. Seorang pengemis gak terlalu buruk dibandingkan ayah seperti Bapak. Pengemis gak buat orang sengsara, lagipula Bapak gak maksa mereka kasih uang kan? Justru ayah yang udah buat keluarga jadi gembel jauh lebih buruk. Menyengsarakan keluarga sendiri dan lepas tangan sebagai kepala keluarga. Bapak itu gak cocok jadi ayah."
Setelah mengatakan itu Santoso kini ditinggal sendirian. Laki-laki dua anak itu kini meremas celana miliknya sembari mencerna penjelasan dari sosok yang tak dikenalinya sama sekali. Tidak, dia tak akan mengemis. Bukan harga dirinya yang jatuh jika melakukan itu, tapi harga diri kedua anaknya lah yang hancur jika orang-orang tau kalau mereka memiliki ayah seorang pengemis. Cukup dia cacat saja.
***
"Terimakasih udah bantu angkat semua beras ini ke dalam mobil. Oh iya, dan ini upah kamu, Nak." Ina tersenyum lebar, mengelap peluh yang membanjiri pelipisnya sebelum menerima uang seratus ribu yang disodorkan.
"Terimakasih, Pak. Terimakasih."
Menurut Ina, uang seratus ribu ditangannya cukup banyak. Dan uang ini akan dia gabung bersama uang yang didapat kemarin, beserta amplop dari dokter Rendi yang masih belum dibuka. Ina baru akan menghitung semuanya nanti malam. Sebagian uangnya akan dia gunakan membeli sepatu dan tas untuk adiknya. Apalagi besok hari minggu, sekalian saja mengajak adiknya memilih sepatu yang dia inginkan di pasar.
"Nanti kalau saya butuh tenaga lagi saya akan cari kamu. Tapi kamu akan tetap jadi kuli panggul di pasar ini kan?" tanya pemilik toko pada Ina. Tentu saja dengan semangat Ina menjawabnya.
"Iya, Pak. Saya setiap hari ke pasar ini jadi kuli panggul." Di pasar inilah Ina bisa mencari penghasilan, dia tak mungkin berhenti begitu saja. Apalagi dia sudah 17 tahun, setidaknya badannya sudah bisa digunakan mengangkat barang berat seperti kuli panggul yang lainnya.
"Kalau saya dapat pesanan dalam jumlah banyak kamu yang pertama kali saya cari untuk angkat beras-beras ini ke dalam mobil pick up."
Ina tersenyum lebar, mengangguk sopan dan kembali mengucapkan kata terimakasih pada Beliau karena sudah berbaik hati padanya. Pekerjaan ini memang sangat dia butuhkan.
"Kalau begitu saya masuk ke toko dulu, sebaiknya kamu makan siang, mukamu keliatan pucat." Penuturan barusan hanya dibalas senyuman tipis oleh Ina.
Saat ini Ina hanya memikirkan adiknya, Ari pasti pulang sekolah sebentar lagi. Artinya dia harus cepat-cepat membeli ayam goreng untuk adiknya. Sekali-kali dia harus memberikan adiknya makanan enak supaya napsu makan adiknya naik, dan tubuhnya bisa sedikit lebih berisi.
Segera Ina melangkah pergi, meninggalkan toko beras yang menjadi sumbernya mendapatkan uang hari ini. Hanya saja saat berjalan mendadak seluruh tubuhnya terasa remuk, tulang-tulang terasa patah. Melihat ada bangku di samping parkiran motor Ina pun memilih mengistirahatkan diri untuk sesaat, setidaknya sampai kakinya berhenti bergetar.
"Kenapa, Neng?"
"Gak apa-apa, Pak. Sedikit capek aja. Saya boleh numpang duduk di sini?" Tak ingin dianggap kurang sopan akhirnya Ina meminta persetujuan lebih dulu. Mau bagaimana pun bangku ini ada pemiliknya, tentu harus mendapat izin dan tak bertindak seenaknya.
"Boleh atuh, Neng. Duduk aja."
Mengangkat beras sebanyak itu ternyata menguras energi. Bahkan bernafas pun tersenggal-senggal seolah habis lari maraton beberapa kilo. Hampir seluruh tubuhnya dipenuhi keringat dingin, bahkan tangannya sudah terlihat licin. Dan rasa sakit yang menjalar baru terasa pada seluruh tubuhnya.
Untuk beberapa menit Ina memang harus mengistirahatkan diri, takut di jalan dia tak bisa menahan bobot tubuhnya karena dipaksakan.
"Habis kerja ya, Neng?"