RUMAH UNTUK BAPAK

SISWANTI PUTRI
Chapter #17

17

Ari meletakkan tubuh Ina yang masih tertidur di punggungnya di atas kursi. Kakaknya terlihat damai dalam tidurnya, Ari sampai tak tega membangunkan. Jadi yang dilakukan sekarang hanya membantu mencuci kaki kotor itu dengan telaten. Telapak kaki yang kering dan retak membuktikan jika kakaknya adalah sosok perempuan pekerja keras dan juga mandiri.

Ari begitu menyayangi kakaknya melebihi apapun, bahkan melebihi kedua orang tuanya sendiri. Dari kecil yang banyak menghabiskan waktu dan merawatnya adalah kakaknya. Seorang perempuan yang berperan menggantikan tanggung jawab sebagai ibu dan bapak selama belasan tahun.

"Kasihan kakak." Ari menghela nafas pelan, menatap wajah itu dengan lamat. Wajah yang begitu mirip dengan mendiang ibu. Andai saja foto itu tak ada, mungkin Ari lupa bagaimana wajah sang ibu. Foto keluarga yang sempat ibunya ambil saat mereka terusir dari rumah. Dan sekarang foto itu digunakan oleh sang kakak untuk melepas rindu setiap malam. Menangis tanpa suara di belakang rumah agar tak membuatnya terganggu saat beristirahat.

Tapi Ina tak sadar, Ari mengetahui apapun yang dia lakukan. Hanya saja Ari enggan mengganggu, membiarkan menyendiri dan berharap setelah itu kondisi kakaknya jauh lebih baik.

Karena mau bagaimana pun, yang paling banyak mendapatkan luka adalah kakaknya. Selain menanggung tanggung jawab sebagai yang tertua, dia juga harus menjalani hidup dengan ingatan masa lalu yang menggerogoti.

Hidup Ari tak seberat kakaknya. Dia tak perlu repot-repot terluka karena tak mengingat bagaimana mereka dibuang oleh sosok yang disebut bapak. Dia tak tau bagaimana sakitnya saat diusir dari rumah.

***

Santoso benar-benar putus asa. Tak ada satu pun pekerjaan yang dia dapat hari ini. Jika terus seperti ini dia akan semakin menjadi beban untuk kedua anaknya. Apalagi belum pasti kapan Prita mendapatkan uang pembelian rumah dan kapan mengantarnya.

Jika menganggur, dan hanya duduk diam di rumah! Lalu apa gunanya dia ada kalau tak bermanfaat sama sekali untuk buah hatinya?

"EH TUNGGU-TUNGGU."

Santoso menghentikan kursi rodanya mendengar teriakan itu, sedikit kesusahan dia pun memutar kursi rodanya ke arah samping guna melihat siapa yang berteriak dari belakang.

Lihat selengkapnya