RUMAH UNTUK BAPAK

SISWANTI PUTRI
Chapter #18

18

Santoso membawa kursi rodanya ke dalam rumah dengan gerakan tergesa-gesa. Hal pertama yang dia lihat adalah pemandangan di mana putrinya tampak tenang tertidur di atas kursi kayu. Tak tega membangunkan akhirnya dia pun memilih mencari Ari. Mengitari ruangan yang tak begitu luas sebelum menuju ke arah belakang rumah.

Putra bungsunya terlihat sibuk mencuci pakaian. Bahkan tak terganggu dengan kedatangannya ini, terbukti Ari tak menoleh sedikit pun dan masih fokus mencuci pakaian kotor yang sudah menumpuk di dalam baskom.

"Nak, Bapak mau tanya." Santoso perlahan membuka suara saat dia sampai di depan putranya. Menatap serius wajah anaknya yang masih menunduk dengan posisi berjongkok di depan baju kotor.

"Tanya apa?" 

"Kamu berhenti cuci baju dulu, Bapak mau bicara sama kamu," pinta Santoso, Ari sempat terdiam beberapa saat sebelum memilih mengeringkan kedua tangannya. Setelahnya, dia pun mendudukkan tubuh di atas kursi kayu di samping pintu.

"Kamu jawab jujur pertanyaan Bapak."

Kening Ari menukik. Tak mengangguk atau pun mengiyakan, dia membiarkan ucapan itu mengudara tanpa repot memberikan jawaban. Lagipula ini tergantung topik apa yang ingin ditanyakan, kalau memang perlu untuk jujur maka dia akan berkata jujur. Tapi jika memang berbohong lebih baik maka dia akan bohong.

"Kemarin Pak RT datang ke rumah?"

Ari membisu, tak langsung mengeluarkan suara setelah pertanyaan barusan terdengar mengudara. Seolah memikirkan sesuatu dan enggan mengeluarkannya.

"Nak," panggil Santoso pelan.

"Iya."

"Kemarin Pak RT datang ke rumah?" ulang Santoso sekali lagi. Netranya tak luput dari wajah anaknya yang terlihat tenang seolah tak terganggu dengan situasi sekarang. Sebagai seorang ayah, justru Santoso lah yang khawatir setelah mendengar kabar anaknya mendapat tamparan oleh Pak RT.

"Iya."

Jadi benar.

Saat ini pun Santoso mengulurkan tangan pada ruam merah yang sudah mengabur pada pipi itu. Jika tak diamati bekasnya tak akan terlihat, tapi dalam jarak sedekat ini Santoso bisa melihat di sana memang terdapat bekas tamparan.

"Dan ini karena Pak RT?" Ruam merah yang tercipta pun ditunjuk, menyentuhnya dengan hati-hati agar Ari tak merasa kesakitan karena sentuhannya. "Kamu ditampar sama Pak RT kan?"

"Gak usah dibahas lagi." Ari kini menatap tenang cucian yang menumpuk di depan mereka. Dia tak ingin mengingat apa yang sudah terjadi antara dirinya dan Pak RT. Semua itu akan dia lupakan, tak ingin memperpanjang lagi.

"Artinya jawabannya iya?" 

"Aku mau cuci baju dulu."

Santoso segera menahan pergelangan tangan itu untuk menghentikan.

"Kenapa Pak RT sampai tampar kamu? Itu karena masalah waktu itu?"

Santoso akui dia bukan ayah yang baik. Tapi mengetahui putranya mendapat kekerasan dia tak terima. Saat Santoso ingin memberikan yang terbaik pada buah hatinya, memberikan kenyamanan dan memperlakukannya dengan lembut. Orang lain justru bertindak ringan tangan pada salah satunya. Menampar Ari entah apa penyebabnya sampai terdapat ruam.

Tapi apapun itu Santoso tau semua ini bukanlah kesalahan putranya. Selama dia mengamati dan tinggal dengan mereka, kedua anaknya tak mungkin berlaku kurang ajar. Walaupun Ari tak sepandai Ina mengendalikan emosi, tapi putranya tak pernah melakukan sesuatu jika tak ada dorongan dari sekitar.

Lalu kesalahan apa yang dilakukan Ari sampai Pak RT bermain tangan pada putra bungsunya ini?

"Nak."

"Udahlah lupain aja, gak penting," final Ari.

"Itu penting buat Bapak. Kamu ditampar, gak mungkin Bapak diam aja kamu dikasarin, Nak." Wajah Santoso seketika menyendu, hatinya tergores mengetahui anaknya mendapat kekerasan.

Ari menghela nafas pelan. "Ini gak sakit, gak usah diperpanjang. Aku juga gak kenapa-napa. Aku juga udah lakuin hal sepadan sama Pak Burhan. Aku bukan Kak Ina, aku gak sesabar Kak Ina. Jadi gak perlu khawatir karena aku bisa balas orang yang main tangan sama aku."

Lihat selengkapnya