RUMAH UNTUK BAPAK

SISWANTI PUTRI
Chapter #19

19

"Jaga ucapan Bapak ya, kami---"

Suara mobil yang terdengar jelas berhasil menghentikan ucapan Bu Hilda. Beberapa ibu-ibu yang menguping dari luar juga mulai membubarkan diri, menjauh setelah laki-laki dengan tampilan rapi turun dari mobil silver yang sudah terparkir pada pinggiran jalan.

"Apa saya datang di waktu yang kurang tepat?" tanya orang itu, menatap orang sekitar yang terlihat berkumpul membicarakan sesuatu hal.

"Ah enggak kok. Silahkan duduk." Pak Burhan bangkit dari duduknya, menyambut dengan ramah laki-laki yang baru saja muncul dari balik pintu. Mereka berjabat tangan beberapa saat sebelum orang itu kini duduk di atas sofa di samping Santoso.

"Karena masalah dengan Pak Santoso udah selesai, jadi kami rasa gak ada lagi yang perlu dibicarakan. Bapak bisa pulang," suara Bu Hilda memang halus, tapi Santoso tau itu adalah kalimat pengusiran yang ditujukan untuknya.

"Betul, Pak. Mari saya antar ke depan. Pak Burhan ada tamu penting, jadi kalau ada keluhan bisa datang lain waktu. Pak Burhan selalu terbuka menanggapi keluh kesah warganya." Kali Ini Pak Wahid yang kembali bersuara, juga dengan nada ramah yang tak dia lakukan tadi. Santoso benar-benar dibuat bungkam dengan segala perubahan sikap yang bertolak belakang dari sebelumnya.

"Nanti saya ke rumah Bapak kalau masih ada yang mau dibahas," timpal Pak Burhan dengan senyum ramah. Sangat sempurna hingga bisa melabui siapapun jika tak mendapat sambutan sinis seperti yang Santoso alami.

"Gak perlu, saya rasa semuanya udah jelas. Gak ada lagi yang perlu dibicarakan." Tak ada gunanya membahas apapun jika tanggapan yang diutarakan juga kurang mengenakkan. Walaupun tak cukup 1 jam mereka berbicara, tapi itu sudah membuktikan bagaimana sifat mereka.

"Saya pulang, permisi."

***

"Dari kamu kecil Kakak gak pernah main tangan sama kamu. Kakak usahakan gak pernah kasar, tapi sekarang kenapa orang lain bisa lakuin ini ke kamu. Siapa yang udah tampar kamu. Dek? Jawab Kakak."

Ari lagi-lagi tak bersuara. Dibandingkan siapapun, sosok Ina lah yang tak ingin dia buat khawatir. Lagipula semuanya sudah berakhir, tak perlu mengungkit apa yang terjadi sore itu. Walaupun dia juga sebenarnya kesal dengan sosok yang menjabat sebagai ketua RT.

"Kamu gak mau cerita sama Kakak?" tanya Ina sekali lagi, menuntut jawaban dari adiknya yang tak kunjung membuka suara. Masih membisu dan juga tak ingin menatap ke arahnya.

"Ini bukan masalah serius, Kak. Gak perlu khawatir. Lagipula gak parah kok bekasnya." Ari memberikan senyuman lebar agar kakaknya tak khawatir, mencoba memperlihatkan kalau dia baik-baik saja setelah beberapa saat lalu terdiam enggan untuk bersuara.

Ina menghela nafas kasar, meletakkan handuk hangat yang baru saja dia gunakan untuk mengompres pipi Ari. Adiknya tak mengerti betapa khawatirnya dia, betapa tak ikhlasnya dia membiarkan orang yang mati-matian ingin dibahagiakan tapi malah mendapat tindak kekerasan dari orang lain. Dan parahnya lagi dia tak tau siapa yang melakukan tindakan itu pada adiknya.

"Kak, jangan marah." Ari mengikuti pergerakan kakaknya dari belakang. Membuntuti kemanapun kaki itu melangkah.

"Kakak marah sama aku?" tanya Ari sendu.

Ina tak menjawab, membiarkan saja agar adiknya mau membuka mulut untuk lebam yang terdapat pada pipinya. Jika tak diperlakukan seperti ini adiknya pasti tak akan bicara jujur.

"Kak, aku minta maaf. Tapi aku benar-benar gak apa-apa. Kakak jangan khawatir sama aku." Kali ini rengekan lah yang keluar dari mulut Ari, pun dengan tangan yang memegang lengan kakaknya dengan maksud membujuk.

"Kalau ada yang berani pukul Kakak gimana perasaan kamu, Dek?" tanya Ina dengan posisi yang membelakangi. Jujur saja, dia marah pada adiknya. Hanya saja tak ada gunanya melampiaskan semua itu, rasa marahnya hanya karena Ari yang sulit terbuka. Padahal biasanya mulut itu selalu menceritakan apapun padanya.

"Tentu aja aku marah, Kak. Aku gak mungkin biarin orang yang pukul Kakak pergi gitu aja." Tangan Ari seketika terkepal membayangkan sosok yang begitu dia sayangi mendapat kekerasan.

"Kamu sakit hati kalau ada jahatin Kakak?"

"Tentu aja aku sakit hati."

Ina membalikkan badannya. "Itu yang Kakak rasain sekarang. Tau kalau kamu dapat kekerasaan kayak gini Kakak gak terima. Sama kayak kamu yang gak terima Kakak dipukul, begitu juga dengan Kakak yang gak terima kamu ditampar. Kakak sakit hati Ari ...." Suara Ina melirih, seiring pandangan yang berubah menjadi sendu. Ari membisu setelahnya, seketika kepalanya menunduk menatap tanah yang mereka pijak dengan perasaan bersalah.

"Tolong jawab, siapa yang tampar kamu?"

"Pak Burhan."

Ina tak lagi bersuara, tubuhnya menegang, aliran darah seolah terhenti. Ekspresi pucat tersirat di wajah tirusnya.

"Tapi aku udah balas, dia udah dapat balasan yang lebih parah. Jadi Kakak gak perlu khawatir, dia gak akan main tangan lagi, Kak." Dengan cepat Ari kembali meyakinkan kakaknya yang membatu, mencoba menyadarkan kediaman yang berhasil membuat tubuh itu membeku. Ari tak mengerti kenapa respon kakaknya seperti ini, terlihat seperti orang ketakutan, atau itu hanya perasaannya saja?

"Dek."

"Iya, Kak?"

Setelah berhasil menormalkan diri, Ina pun menatap wajah adiknya cukup serius. Memegang pundak itu dengan sedikit cengkraman diberikan. "Kakak bisa minta satu hal sama kamu?"

"Bisa kak." Ari mengangguk cepat, tangan di pundaknya dia turunkan, lebih memilih saling menggenggam untuk menyalurkan kehangatan.

"Untuk kedepannya, Kakak berharap kamu jangan terlibat apapun sama Pak Burhan. Dia bukan orang yang bisa kita singgung. Kamu mengerti kan?" Ina menatap wajah adiknya dengan intens, bahkan saat ini dia pun mengelus rambut lebat di depannya penuh sayang. Tak ingin hal buruk terjadi pada adik satu-satunya ini.

"Apa karena dia punya kedudukan?"

Ina meremas genggaman tangan adiknya.

"Iya."

Lihat selengkapnya