RUMAH UNTUK BAPAK

SISWANTI PUTRI
Chapter #22

22

Penolakan tentang pekerjaan yang ditawarkan kini muncul lagi difikiran Santoso. Apalagi salah satu orang yang menawarinya sedang berkumpul dengan yang lainnya menghitung uang yang didapat ternyata tak sedikit cukup membuatnya tergiur. Hingga terbesit keinginan untuk melakukan hal serupa. Menjadi seorang pengemis seperti mereka.

Memasang wajah menyedihkan hingga banyak orang yang bersimpati. Akan kah Santoso harus menjilat ludahnya sendiri? Menghampiri laki-laki yang saat ini tengah menghitung uang miliknya bersama para pengemis lain di bawah pohon!

Padahal Santoso belum lama menolak, bahkan bersumpah tak ingin melakukan hal menyedihkan itu. Tapi melihat banyaknya uang yang mereka dapat, ditambah keadaan yang masih belum memberinya pekerjaan, dan juga perjuangan putrinya untuk menghidupi mereka seorang diri. Bukankah tak salah jika semua itu menjadi pemicu agar Santoso bisa bangkit dan mendapatkan uang sebagaimana tugasnya sebagai seorang kepala keluarga?

"Kenapa, Pak? Berubah fikiran?" tanya laki-laki itu, saat menyadari kehadiran Santoso sejak tadi. "Bapak bisa gabung sama kita, lagipula ini bukan tindakan kriminal. Kita gak malak, gak begal, gak ngerampok apalagi bunuh orang. Kita juga lakuin ini jauh dari kampung, kita ke tempat ramai yang biasa dilewati orang-orang kaya. Jadi orang di kampung ini gak ada yang tau kalau kita jadi pengemis di pinggiran jalan."

"Benar, Pak. Gabung aja."

Santoso menggeleng pelan. Dia tak boleh melakukan itu, anak-anaknya akan kecewa jika dia meminta belas kasihan orang-orang untuk mendapat beberapa lembar uang di jalanan.

"Yaudah kalau gak mau, tapi kalau berubah fikiran kita terima kok. Asal jangan sampai ada yang tau aja, ini rahasia antara kita aja ya, Pak." Tak ingin hatinya terkecoh pada akhirnya Santoso memilih pergi. Dia hanya tak ingin goyah karena melihat uang mereka ternyata banyak.

"Jangan lama berubah fikirannya, Pak. Kami siap bantu orang kesusahan. Gak usah malu jilat ludah sendiri," teriak laki-laki itu dari belakang. Tak ada yang bisa Santoso lakukan selain menulikan pendengaran. Bagaimana mungkin dia sempat terkecoh dan goyah akan pendiriannya untuk menjadi pengemis seperti mereka? Bukankah meminta belas kasihan orang agar diberikan uang secara cuma-cuma sangat memalukan!

***

"Kamu suka, Dek?" 

"Suka sih, Kak. Cuma gara-gara aku uang Kakak habis dua 400 ribu dengan percuma hari ini." Wajah Ari terlihat lesu, padahal ditangannya terdapat kantong hitam yang berisikan sepatu dan seragan miliknya.

"Percuma?" Ina tersenyum tipis. "Kamu ini ngomong apa sih, Dek. Gak ada yang percuma kalau uangnya untuk adik Kakak. Memang kamu fikir Kakak cari uang buat siapa kalau bukan buat kamu? Semua ini buat kamu, Dek." Sampai saat ini Ina masih tak habis fikir kenapa adiknya masih seperti ini saat ingin dia bahagiakan, selalu tak enak padahal Ina sendiri pun senang jika bisa membuat wajah itu bahagia.

Ari meremas kantong belanjaannya. "Aku cuma gak mau terlalu lama jadi beban buat Kakak. Aku juga mau cari uang supaya beban Kakak berkurang." Suara Ari seketika menyendu, menatap tanah yang mereka lewati dengan pandangan nanar.

"Pemikiranmu itu salah, Dek. Yang terpenting fokus sekolah dan jadi orang sukses. Kalau kamu berhenti sekarang, memang berapa banyak uang yang kamu dapat? Mau jadi kayak Kakak dan orang yang cemooh kita makin menjadi-jadi karena adik Kakak juga kerja gak jelas di luaran sana? Dengan jadi kayak Kakak kamu fikir bisa beli mulut jahat mereka, Dek?" Ina mencoba menasehati, rasa sakit yang hatinya simpan masih membekas sampai kapanpun. Orang-orang yang memandangnya rendah, menganggap orang miskin sepertinya hina tak bisa begitu saja dia lupakan. Mau bagaimanapun dia juga manusia biasa yang bisa termakan amarah dan dendam.

Lihat selengkapnya