Ina masih terus menangis, bahkan saat kakinya melangkah menyusuri pinggiran jalan air mata itu tak kunjung berhenti. Ina tak tau ingin pergi ke mana, dia hanya terus berjalan mengikuti jalanan tanpa tau ke mana arah tujuannya.
"Ibu ...." Air mata semakin deras di pipinya. Malam semakin larut, jalanan semakin sepi dengan pemotor yang sudah tak sebanyak sore tadi. Rasa sakit yang bapak berikan tak main-main dampaknya.
"Lagi Ari."
"Ari?" Ina menghentikan langkahnya, nama adiknya yang diserukan membuat kakinya terhenti. Wajah yang mungkin begitu sembab dengan penampilan berantakan tak mengurungkan niatnya berjalan ke arah tawa dari beberapa laki-laki yang berkumpul di depan bangunan yang tak jadi dibangun. Terlihat terbengkalai namun ada banyak motor yang terparkir di sana.
"Ari?" Nafas Ina seketika memburu, degup jantung menggila ketika melihat adiknya memasukkan minuman keras ke dalam mulutnya. "ARIIII!" Teriakan marah seketika mengudara, bersama kaki yang dibawa melangkah pada adiknya yang sudah terlihat hampir kehilangan kesadaran.
PLAKKKK!!
Rasa marah yang tadinya ada saat kejadian di rumah, kini ditambah rasa kecewa melihat penampilan berantakan yang terlihat di depan mata.
"SIAPA YANG SURUH KALIAN KASIH MINUMAN YANG BIKIN ARI MABUK!!?"
Ina membentak keras, menatap satu persatu laki-laki yang tadinya bersenang-senang kini terdiam tanpa suara. Air mata Ina kembali mengalir, kali ini dia beralih menatap wajah adiknya yang benar-benar mabuk. Mengigau pelan dengan tubuh yang hampir terjatuh beberapa kali.
"Siapa yang suruh kamu kayak gini hah! Siapa!!? Kamu ngerasa hebat lakuin ini? Kamu ngerasa hebat ARIII," pekik Ina.
"Kenapa ...." racauan itu keluar dari mulut Ari. "Kenapa aku juga terluka dengar ucapan wanita itu, Kak. Kenapa?" Mata itu pun mengeluarkan tangis, terisak pelan dengan bahu yang ikut terguncang.
"Aku munafik ya, Kak? Aku ... aku pernah bangga bilang gak rasain sakit atas kelakuan bapak, tapi kenapa ... kenapa sekarang rasanya sakit ...." racauan Ari semakin menjadi. Mengundang rasa sesak di hati Ina yang berada di sampingnya.
"Kita pulang." Ina meraih tubuh adiknya, mencoba membantunya berdiri karena sudah mabuk berat. Tubuh yang nyatanya lebih tinggi darinya berusaha dia gendong di atas punggung, mengabaikan bantuan dari beberapa teman adiknya yang masih tersadar di belakang sana.
"Bapak jahat ya, Kak ...." Ari masih saja meracau, wajahnya dia benamkan di leher Ina yang saat ini pun tercipta kesedihan mendalam. Bersama suasana sepi karena malam yang semakin larut, Ina menggendong tubuh adiknya menuju rumah yang lokasinya cukup jauh.
***
"Apa sekarang Ari baik-baik saja, Nak?" Sejak kedatangan putrinya menggendong Ari yang masih mabuk, Santoso semakin dilingkupi rasa cemas. Dia tak menyangka dampak dari kejujuran yang keluar dari mulut Prita bisa separah ini.
"Bagaimana Ari sekarang, Nak?"
"Untuk apa Bapak tanya kondisi Ari sekarang? Dulu, apa Bapak pernah nanya kayak gitu dalam diri Bapak sendiri?" Ina mencengkram tikar yang baru dia ambil untuk di gerai sebagai alas tidur. Nafas Ina semakin memburu, hingga saat tak terbendung lagi dia pun melempar tikar itu ke sembarang arah. "Apa anakku baik-baik saja di luaran sana? Apa istriku baik-baik saja di luaran sana? APA MEREKA BAIK-BAIK SAJA SETELAH AKU USIR?" Ina mengacak rambut frustasi.
"Pernahkah sekali saja Bapak memikirkan itu? Apakah pernah?" tanya Ina, menekan setiap ucapannya bersama air mata yang semakin deras membanjiri pipi.