RUMAH UNTUK BAPAK

SISWANTI PUTRI
Chapter #25

25

Di bawah guyuran hujan Santoso berkeliling mencari putranya. Rasa sakit kian menghantam hingga air mata pun tak kunjung surut dan bercampur dengan air hujan. Sungguh, dia tak membayangkan semua ini akan terjadi, terpecahnya hubungan kakak dan adik hanya karena orang sepertinya.

"Ya Allah, Nak. Kamu di mana?"

Suara lirih yang keluar dari mulutnya kini melebur karena derasnya air hujan. Sejak meninggalkan rumah, sebenarnya perasaannya pun tak tenang. Tapi mengingat hal buruk bisa saja terjadi pada putranya diluaran sana, dia pun mengambil pilihan meninggalkan putrinya seorang diri.

"Ari ...." Santoso semakin terisak, bibir pucatnya tak henti-hentinya menyerukan nama anaknya. Hanya saja saat rasa sakit menghantam dadanya, pergerakannya pun membawa kursi roda untuk mencari lebih jauh seketika terhenti.

"Ina ...." Nama putrinya tiba-tiba dia fikirkan saat ini. Itu sebabnya tanpa memikirkan hal lain lagi, Santoso pun kembali membawa kursi rodanya pulang ke rumah. Dahi yang berdarah itu, harusya dia tak mengabaikan begitu saja.

"Ya Allah, Nak. Maafin Bapak." Pergerakan Santoso semakin cepat. Tubuh yang mengigil dia abaikan. Bahkan saat ada tempat untuk singgah dia masih terus membawa kursi rodanya pulang ke rumah.

Pintu yang sudah tertutup menjadi pemandangan yang dia lihat saat sampai di depan rumah. Santoso tak ingat apakah dia memang menutupnya atau masih terbuka. Hanya saja setelah memasuki rumah, amarah seketika menjalar ditubuhnya melihat pemandangan yang terjadi.

"KURANG AJAR!!!" Emosi yang tak terkendali membuat Santoso mendekat untuk menghajar orang itu. Memukul membabi buta orang yang kini terkejut setelah hampir melecehkan putrinya.

Santoso mencengkram leher itu, menariknya dengan kasar kemudian membenturkan kepala itu ke samping kursi. Darah yang mengalir pada dahi didepannya tak membuatnya menghentikan kekerasan, barulah saat ada orang yang menariknya dari belakang tangan miliknya terlepas begitu saja.

"APA YANG UDAH BAPAK LAKUIN KE PAK BURHAN!?" Bentak orang itu.

"DIA HAMPIR PERKOSA ANAK SAYA, DIA SENTUH-SENTUH ANAK SAYA." Hujan yang sudah mereda membuat suara Santoso terdengar sampai keluar.

"A-Apa?"

Tangis Santoso pecah, tubuhnya dia seret menuju putrinya yang terlihat bergetar dengan pandangan takut-takut. Seolah jiwanya terangkat dari dalam sana.

"Dia hampir perkosa anak saya." Santoso memeluk tubuh putrinya, rambut itu dia elus beberapa kali dengan kening yang dia kecup berulang-ulang. "Bapak di sini, gak apa-apa, Nak. Jangan takut ya ...."

Tangis Ina pecah, membalas pelukan pada tubuhnya tak kalah erat. Tangisan keras yang sulit untuk terhenti nyatanya mengundang beberapa tetangga untuk mendekat. Ruangan yang tadinya sepi kini diisi banyaknya orang yang penasaran, pun dengan Pak Budi yang berniat melakukan ronda setelah hujan berhenti.

"Ya Allah, Mas. Siapa yang berani lakuin ini!!" pekikan Bu Hilda mengudara saat melihat suaminya tergeletak dengan darah yang mengalir pada dahi itu. Muka lebam pertanda adanya pukulan yang mendarat. Ada salah satu warganya yang datang ke rumah, memberitahukan adanya keributan, dan lihatlah sekarang saat dia sampai. Suaminya tampak mengenaskan di atas tanah tanpa ada yang menolong.

"Dia perkosa Ibu ...." Suara Ina yang terdengar bersama lirihan kepiluan mengundang atensi orang-orang sekitar. "Dulu dia juga perkosa ibu ...." Sekali lagi ucapan lirih kembali keluar.

"Bohong!!" Bu Hilda menoleh, menatap tajam keberadaan Ina yang masih bergetar di dalam pelukan ayahnya. Bola mata itu bergerak gelisah, memindai semua orang hingga terhenti ke arah Pak Budi.

"Bukan Ibu yang goda Pak Budi, bukan Pak Budi yang sama Ibu." Ina menunjuk ke arah Pak Burhan. "Dia yang perkosa Ibu, aku udah bilang semuanya, jujur. Tapi gak ada satu orang pun yang percaya ...." Tangis Ina tak kunjung reda, mengundang tatapan sedih dari orang sekitar. Menatap iba wajah pucat yang tak berani menatap orang-orang.

"BOHONG!!" Bu Hilda masih terus membantah, kali ini dia memeluk tubuh suaminya yang sudah tak sadarkan diri.

"Itu memang benar." Pak Budi tiba-tiba melangkah maju. "Kamu juga tau kan Mbak kalau suami Mbak yang bersalah. Itu sebabnya karena cemburu pada Ida yang sudah meninggal, Mbak lampiasin dengan cara curangi Ina selama ini. Mbak selalu tahan bantuan buat dia. Mbak gak mau nama baik Mas Burhan hancur itu sebabnya tutup mulut."

"Kenapa kamu baru bilang sekarang?" tanya salah satu ibu-ibu yang menyaksikan. Maju selangkah hingga menjadi pusat perhatian orang-orang.

"Mas Burhan tau kalau saya mandul, dan saya gak mau istri saya tau itu sebabnya saya mau-mau saja diperdaya sama dia." Pak Budi mengepalkan tangan, membuang pandangan saat kilasan masalalu kembali hadir.

"Saat dia selesai perkosa almarhumah Ida, saya yang lebih dulu pergoki dia, dan gak lama dari itu beberapa langkah kaki mendekat ke arah kami. Mungkin karena saya yang terlalu keras lampiasin emosi makanya orang-orang dengar suara keributan di rumah ini. Saat itu dia ancam saya akan membocorkan kemandulan saya kalau gak mau kerjasama." Hembusan nafas kasar keluar dari mulut Pak Budi.

"Karena saya yang terlalu bodoh, pada akhirnya saya mau jadi kambing hitam agar saya gak bercerai dengan istri saya. Saya gak mau ditinggalkan karena saya mandul, saya gak mau ketahuan udah tukar hasil kesehatan dengan istri saya, di mana tertera di sana kalau istri saya lah yang mandul padahal sebenarnya saya."

Yang terjadi sekarang hanya kediaman orang-orang, membulat mendengar semua rentetan kalimat yang keluar dengan suara pelan.

"Pada akhirnya kami berdua pun sepakat bilang kalau Ida lah yang goda saya di depan orang-orang, dan itu berhasil, Mas Burhan juga janji kalau istri saya gak akan berani ceraikan saya, dia akan bantu saya yakini dia kalau Ida lah yang mati-matian jebak saya." Tangan Pak Budi terkepal, gejolak marah tiba-tiba hadir bersama tatapan nyalang.

"Sampai kemarin istri saya tiba-tiba bilang kalau dia hamil, dia pun heran dan saya yang terkejut. Bagaimana mungkin istri saya bisa hamil kalau saya mandul? Saya memaksanya bicara, mengancamnya untuk jujur saat saya juga bilang kalau sebenarnya saya lah yang mandul." Pak Budi sebenarnya berat mengatakan hal ini.

Lihat selengkapnya