Kediaman Nahra Pratiwi tengah dipenuhi oleh orang-orang dari kota dengan pakaian yang serba bagus dan mewah. Mereka duduk dengan tegang di kursi kayu ruang tamu sambil menatap Nahra yang sedari tadi terlihat sangat bingung.
Nahra tidak mengenal siapa pun dari mereka. Wajahnya asing. Berapa kali pun ia mengingat, Nahra tetap tidak pernah bertemu salah satu dari mereka.
Para tetangga yang melihat banyaknya mobil yang terparkir di depan rumah Nahra yang kecil membuat mereka terheran-heran. Pasalnya baru kemarin bapak Nahra mengembuskan napas terakhirnya, dan sekarang orang-orang yang terlihat kaya raya itu mendatangi rumahnya. Para tetangga tahu bahwa Nahra tidak pernah memiliki kedekatan apa pun dengan orang kota, baik itu keluarga dekat atau pun teman dekat orangtuanya. Keluarga Nahra berasal dari desa, tempatnya tinggal saat ini. Itu pun hanya tersisa bibi dan pamannya yang masih hidup, sisanya sudah meninggal dunia. Untunglah ia masih memiliki seorang ibu yang sangat baik dan pengertian. Meskipun dalam kondisi berkabung, ibunya tetap menyemangati Nahra agar tidak terpuruk karena ditinggal pergi oleh bapaknya.
Setelah membuatkan minuman untuk tamu-tamu yang ditebak Nahra berasal dari perkotaan, mereka tanpa satu patah kata pun membuka obrolan, sehingga membuat ruang tamu kecil itu sangat hening. Hanya suara kendaraan di luar sana yang terdengar. Mereka sibuk menatap wajah Nahra yang sudah kebingungan sedari tadi. Kepala yang menunduk hormat dengan pikiran yang terheran-heran.
Balutan gamis sederhana berwarna cokelat dan jilbab krem polos membuat Nahra semakin terlihat manis. Terlebih lagi ditambah dengan kacamata yang menjadi teman sehari-harinya. Mata silindris itu membuatnya harus menggunakan kacamata, tanpa terkecuali di dalam rumah pun. Ini sudah dia lakukan dalam sepuluh tahun belakangan, tepatnya saat dia mulai duduk di bangku sekolah menengah atas.
Pria paruh baya yang memakai kemeja batik berwarna cokelat berdeham untuk mengalihkan konsentrasi mereka yang sedari tadi beradu dalam pikiran. Mereka menatap pria itu dengan tegang, tetapi Nahra malah merasa tidak mengerti dengan semua ini. Kedatangan mereka. Kebungkaman mereka. Semuanya menjadi sangat membingungkan bagi Nahra.
"Saya Dharma Pramana, teman bapakmu saat masih duduk di bangku SMA." Pria itu berbicara dengan nada lembut, menatap Nahra dan ibunya dengan tenang.
"Kedatangan saya ke sini karena mendapat berita bahwa Bapak sudah berpulang. Jujur saya sangat sedih, dialah teman seperjuangan saya dulu hingga saya bisa menjadi seperti sekarang ini. Namun, bukan hanya semata-mata ingin mengucapkan bela sungkawa, kedatangan kami di sini juga ingin memberitahukan perjanjian yang telah kami buat dulu sewaktu masih lajang." Nahra mengerutkan dahinya.
Perjanjian apa? Nahra membatin heran.
"Maksudnya?" Untuk pertama kalinya Nahra bersuara. Pria paruh baya itu menatapnya dengan kasih sayang. Sementara ibu Nahra hanya mengelus lengannya dengan lembut.
"Saya dan Bapak berjanji akan menjodohkan anak kami ketika sudah dewasa. Kebetulan sayalah yang memiliki anak laki-laki, maka dari itu, kedatangan saya ini ingin melamar Ananda untuk menjadi istri anak saya."
Nahra terdiam. Wajah yang semula menunjukkan rasa bingung berubah menjadi datar. Kenapa tidak ada yang memberi tahunya selama ini? Sehingga saat bapak sudah meninggal, semuanya baru terungkap.
"Tapi Ibu nggak pernah cerita sama Nahra!" katanya dengan tegas. Ia berpaling ke arah ibunya yang menatap sendu. Sambil mengelus tangan Nahra, ibunya hanya bisa mengangguk.
"Nahra, saya di sini sebagai calon mertua kamu ingin menyampaikan bahwa perjanjian itu harus ditepati. Kamu tidak mau kan kalau Bapakmu di sana merasa sedih karna salah satu dari keinginannya tidak dipenuhi? Maka dari itu, Nahra, tolonglah menyetujui pernikahan ini."
Mendengar itu, Nahra menggeleng dengan kuat. Satu musibah datang menghampiri keluarganya, merenggut nyawa bapak yang selama ini ada di sampingnya. Belum lagi kesedihan itu hilang, satu masalah kini timbul karena perjanjian masa lalu. Nahra bingung harus bagaimana. Dia tidak bisa memberikan jawaban karena semuanya serba tiba-tiba. Andai bapak atau ibunya memberitahukan lebih awal. Andai semuanya tidak mendadak seperti ini. Kedatangan mereka saat suasana masih berkabung membuat Nahra sedikit emosional. Apalagi dengan dalih agar bapaknya tidak merasa sedih jika Nahra menolak perjodohan ini.