Rumah untuk Dinda

Reza Lestari
Chapter #3

Tiba-tiba ada Zivan

 “Kita makan di restoran ini? Lo lagi punya uang banyak, ya, Sam?” tanya Dinda, setelah Abrisam memarkirkan motor dan menariknya berjalan menuju restoran.

“Ibu kemarin menang arisan. Eh, gue dikasih, lumayan bisa buat makan di sini,” jawab Abrisam yang membuat senyum Dinda mengembang.

“Mau gue tambahin nggak uangnya? Buat nanti bayar, kita makan berdua. Jadi, bayar juga berdua. Gue masih punya sisa uang saku, lumayan ada lima belas ribu.” Abrisam terkekeh mendengar itu, lalu menggelengkan kepalanya.

“Sisa uangnya lo tabung aja.”

“Ih, lo mah kayak Nenek gue. Rajin banget ingetin gue buat nabung.”

“Nabung itu penting, Camel. Buat jaga-jaga, kalau lo lagi nggak punya uang. Lo bisa pakek uang tabungan lo itu.”

“Celengan babi gue di rumah udah ada sepuluh, Sam. Udah pada penuh, dari kecil Nenek nyuruh gue nabung mulu. Ya, gue turuti. Tapi, gue nggak pernah ngambil tuh uang di celengan. Tau, deh, ada berapa uang di dalam sana.” Sampai sekarang Dinda suka bingung, celengannya itu harus diapakan? Sedangkan, setiap ia beli sesuatu pasti pakai uang dari papanya. Tetapi, Abrisam hampir tiap hari menyuruhnya nabung, sama seperti neneknya.

“Kenapa lo suka banget beli celengan babi? Padahal, celengan ayam nggak kalah bagus, kan?” tanya Abrisam.

“Kata Nenek gue, kalau tidur bangunnya nggak boleh siang. Nanti, rezekinya dipatok ayam. Nah, sedangkan gue nabung suka siang. Kalau gue pakek celengan ayam, nanti uang gue pada ilang gimana? Karena ditelan ayam?”

Abrisam tertawa mendengar penjelasan itu dari Dinda, ada-ada saja pacarnya itu. “Bukan gitu konsepnya, Camel sayang.”

“Pokoknya, kalau apa-apa siang. Gue takut dipatok ayam.”

“Ada-ada aja lo.”

Saat tiba di dalam restoran itu, keduanya mengalihkan pandangan untuk mencari meja yang nyaman untuk mereka. Apalagi, kali ini restoran itu cukup ramai.

Hingga mata Dinda melihat satu meja yang menarik perhatiannya, bukan meja kosong. Tetapi, meja yang ditempati 4 orang. Satu orang pria berumur 38 tahun yang ia akui sebagai Papa, seorang wanita tua yang biasa ia sebut Oma, lalu wanita yang ia juluki Tante-tante, dan seorang gadis yang baru ia lihat sekarang.

“Oh, jadi ini hal pentingnya? Makan-makan ternyata, gue kira ada yang meninggal. Sampai minta gue pulang sendiri,” ujar Dinda yang tak dimengerti Abrisam.

“Maksudnya?”

“Tuh, ada yang lagi pacaran di sana.” Dinda menunjuk ke arah meja yang ditempati papanya.

Lihat selengkapnya